Banyak orang yang menduga ada skenario besar untuk menjegal langkah Jokowi sebagai pemenang pilpres atau pemilihan presiden 2014 mengingat perkembangan politik akhir-akhir ini, beberapa hari sebelum tanggal 9 Juli 2014. Kabarnya serangan akan dilancarkan pada tiga tahap yaitu proses kampanye sebelum hari H, proses pemungutan suara, dan proses penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (jika ada).
Skenario ini akan semakin keras ditandai dengan makin banyaknya kampanye hitam akan diarahkan ke Jokowi, pembangunan opini secara berlebihan dan pergerakan para tokoh nasional atau politik termasuk Presiden SBY. Banyak alasan mengapa mereka harus menggagalkan Jokowi menjadi RI 1, mulai dari kepentingan politik untuk memenangkan jagoannya atau untuk kepentingan ekonomi.
Berikut adalah skenario yang dianggap penulis merupakan langkah menjegal langkah Jokowi atau supaya tidak dianggap ekstrim dianggap “sedikit mengganggu” elektabilitas dan peluang Jokowi memenangkan Pilpres yang diperoleh dari beberapa sumber berita online, termasuk dari sosial media.
Skenario 1: Dukungan Partai Demokrat
Salah satunya adalah dukungan resmi Partai Demokrat kepada calon presiden Prabowo Subianto, seperti yang dikatakan oleh Pengamat politik Karyono Wibowo. “Ada skenario besar yang disiapkan untuk melawan dan menjegal Jokowi menjadi presiden 2014-2019. Hal itu terlihat, salah satunya dari bergabungnya Partai Demokrat mendukung Prabowo,” kata Karyono kepada wartawan di Jakarta, Jumat (4/7/2014), seperti berita yang dirilis oleh metrotvnews.com.
Secara khusus, Karyono memandang, dukungan yang diberikan Partai Demokrat juga akan menyebabkan militer tidak bersikap netral. Apalagi, Prabowo adalah satu-satunya kandidat yang berasal dari kalangan militer. “Ada sentimen korps. Keluarga militer bisa condong ke salah satu kandidat karena hanya Prabowo satu-satunya calon dari militer. Ini sangat berbahaya jika aparat sudah tidak netral. Oleh karena itu, masyarakat harus meminta komitmen netralitas Panglima TNI dan Kapolri,” ujar Karyono
Skenario 2: Pembentukan Opini oleh Survei
Beberapa hari menjelang masa kampanye berakhir, mulai banyak muncul pembentukan opini publik yang disampaikan melalui lembaga survei sejak beberapa pekan terakhir. Beberapa lembaga survei menghasilkan survei yang tidak wajar karena menyatakan ada kenaikan elektabilitas yang fantastis dari Prabowo bahkan mengungguli Jokowi.
“Ini lompatan elektabilitas yang sangat jauh dalam waktu sangat singkat. Sangat tidak mungkin. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Prabowo dalam waktu singkat elektabilitasnya bisa meningkat drastis, apalagi sampai mengungguli Jokowi. Tidak mungkin bisa dipercaya,” ujar Karyono.
Skenario 3: Pernyataan SBY tentang Akan Terjadi Kerusuhan Usai Pilpres
Pada hari Kamis, 3 Juli 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapatkan informasi bahwa setelah pemungutan suara usai akan ada kerusuhan dari pihak-pihak yang merasa tidak puas atas hasil Pilpres 2014. “Saya mendengar sejumlah kecemasan dari berbagai pihak akan terjadi gangguan keamanan, gangguan ketertiban dan sosial setelah pemungutan suara dilakukan. Ada pihak-pihak yang kalah dan tidak bisa menerima kekalahan itu,” ujar SBY di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara.
Menurut beberapa rumor yang beredar di dunia maya, pernyataan SBY ini akan membuat masyarakat ketakutan dan panic di masyarakat walaupun statement SBY ini dalam arti luas ingin mengingatkan aparat keamanan utk waspada, tetapi di sampaikan ke umum yang seharunsya untuk konsumsi internal bukan untuk umum. Pasca pernyataan SBY ini memang harga tiket pesawat ke luar negeri langsung melonjak tinggi bahkan tiket terjual habis khususnya untuk yang ke Singapura.
Penarikan uang besar-besaran diperkirakan akan terjadi menjelang pilpres, pengusaha mulai khawatir stok barang produksi yang harus diamankan. Penyataan SBY ini juga membuat beberapa voters yang berpotensi mendukung Jokowi kabur dan tidak menggunakan hak suaranya terutama kaum minoritas seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Skenario 4: Pembentukan Opini oleh Media TV
Walaupun KPI mengancam memberikan peringatan yang sangat keras akan menindak televisi yang menggunakan frekuensi publik untuk kampanye, untuk pembentukan opini, propaganda, dan mobilisasi pendapat masyarakat, namun ada stasiun televisi yang tidak mengindahkan hal itu dimana tidak ada peran redaksi dalam menyaring dan menganalisa sumber informasi atau data sesuai kaidah kode etik jurnalistik yang berlaku.
Hal ini dilakukan untuk membuat calon presiden yang mereka usung, elektabilitasnya cepat naik dan lawan akan turun. Faktor lain adalah faktor ekonomi sebagai bentuk kepanikan pemilik stasiun TV tersebut bila capres dan cawapres diusungnya tidak menang maka akan tidak ada kompensasi untuk menyelamatkan stasiun TV tersebut dari kebangkrutan.
Anda dapat menambah skenario lainnya seperti perkembangan politik akhir-akhir ini seperti penyerangan kantor suatu partai politik atau stasiun TV untuk memainkan opini yang berkembang di masyarakat untuk memainkan peranan sebagai play victim. Atau ada yang lain?
Diskusi
Belum ada komentar.