Sebuah fakta dari hasil survey oleh BKKBN menyatakan bahwa 46 persen remaja berusia 15-19 tahun di Indonesia sudah melakukan hubungan intim bebas pra nikah. Hal itu dikatakan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Julianto Witjaksono SpOG, KFER, MGO.
“Paling tidak, beri pandangan bahwa ini bahaya dan mengancam generasi muda. Pernikahan dini, penyimpangan prilaku. Masalah penyimpangan remaja semestinya bisa dikendalikan. Harus dikendalikan, bisa mencegah menghambat angka kehamilan pra nikah, penyimpangan seksual akan bisa
berdampak pada kesehatan remaja,” tegasnya dalam Seminar Kesehatan Reproduksi Remaja “Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja dalam Upaya Meningkatkan Kesehatan Ibu di Indonesia” di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Sabtu, 9 Agustus 2014, seperti berita yang di.
Sehingga, lanjutnya, Indonesia dapat siap menghadapi tantangan bonus demografi 2025 atau AFTA 2015. Generasi ini harus disiapkan sejak dini. “Kualitas manusia Indonesia, tak hanya pendidikan sekolah, tetapi harus disiapkan sejak dini dalam kandungan.Kehamilan remaja memicu tingginya angka kematian bayi. Bayi berbobot rendah,” jelasnya.
Julianto menegaskan bahwa pendewasaan usia perkawinan penting dilakukan. Jika sudah menikah, kata dia, menunda kehamilan sampai usia 20 tahun keatas tentu sangat baik. “Remaja saat ini rentan terhadap godaan – godaan, banyak terjadiabortus, penyakit seksual, hati-hati cari pacar,” katanya. BKKBN terus menyosialisasikan masalah kesehatan dan pendidikan reproduksi dengan sasaran sekolah, universitas, pramuka, pusat kesehatan reproduksi seperti di Jayapura.
“Itu semacam UKS, tempatnya dilengkapi petugas medis yang ramah, akses mudah, diminati remaja
kita. Banyaknya masyarakat yang datang menunjukan bagaimana rakyat butuh konseling,” tutupnya.
Pentingnya Pendidikan Seks Usia Dini
Pendidikan seks sejak usia dini penting dilakukan untuk masa depan anak agar terlindungi dari kekerasan seksual. Pihak yang paling bertanggung jawab untuk hal itu adalah orang terdekat dengan anak-anak, yaitu orangtua. Direktur Human Resources PT Unilever Indonesia Tbk, Enny Sampurno menjelaskan di era digital saat ini segala informasi dengan sangat mudah dapat diakses anak-anak termasuk berita dan foto-foto tentang pornografi.
Jika tidak membekali dengan pendidikan seks sejak dini, bisa berdampak buruk bagi masa depan anak-anak. Salah satunya adalah membuat anak rentan menjadi korban kekerasan seksual. Berdasarkan survey Komnas HAM Anak 2002, 67,3 persen pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) pernah melakukan hubungan seks usia dini bersama temannya. Itu artinya, setiap enam dari sepuluh anak SMP pernah melakukan hubungan seks pra nikah.
Oleh karena itu, lanjut Enny, pendidikan seks pada anak penting dilakukan sejak anak mulai mengenal bahasa atau sekitar dua tahun. Karena pada usia tersebut perkembangan otak anak sangat pesat hingga mencapai 80 persen. Anak dapat menyerap segala hal yang diajarkan dengan cepat. Oleh karena itu, pendidikan seks lebih baik diberikan oleh orangtuanya, dibandingkan dari orang lain yang belum tentu benar.
“Pendidikan seks sejak dini dapat melindungi diri serta menjaga diri anak dari ancaman kekerasan seksual yang bisa merusak masa depannya,” ungkap Enny di sela penutupan Unilever Day Care di Jakarta, Jumat (8/8). Praktisi multiple intelligence and holistic learning Ayah Edy mengatakan peran orang tua dalam hal ini ayah dan ibu sangatlah penting dan menjadi kunci keberhasilan dalam mendidik anak. Secara filosofi, anak-anak lahir dari ‘kerjasama’ antara ayah dan ibu.
Untuk itu perlu kerjasama yang kuat dari keduanya dalam mendidik anak untuk menciptakan generasi yang kuat dan tangguh. Agar anak dapat mencapai masa depannya yang cerah. Ayah Edy menambahkan, sampai saat ini tidak ada sekolah untuk para orangtua. Namun, para orangtua dapat mencari sumber informasi yang dapat dipertanggung-jawabkan tentang bagaimana memberikan pendidikan seks pada anak. Sebelum memberikan pendidikan seks pada anak, orangtua perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang edukasi seks yang mencakupself defense system, left brain system, dan brain response system.
Untuk self defense system, orangtua perlu memberi pemahaman pada anak bagaimana dia melindungi dirinya dan menjaga diri dari kekerasan seksual, yaitu dengan memperkenalkan pada anak nama-nama organ tubuh dan reproduksi serta fungsinya masing-masing dengan menggunakan nama yang benar. Sedangkan left brain system yaitu mengajarkan pendidikan seks lewat otak kiri anak. Karena, cara kerja otak kiri adalah merespon hal-hal yang bersifat sains seperti berhitung, membaca, menulis, dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan seks yang ditangkap otak kiri akan merespon bagian tubuh sebagai anggota tubuh biasa yang mempunyai fungsinya masing-masing yakni membuat anak melihat segala sesuatunya dengan science, seperti halnya seorang dokter menghadapi pasien. “Sedangkan otak kanan merespon hal-hal yang terdiri dari imajinasi, bahasa, kreativitas, seni, dan budaya,” jelas Ayah Edy.
Sedangkan brain response system diperlukan agar anak memiliki daya tolak. Jika ada ancaman kekerasan seksual pada dirinya. Contohnya anak akan berani berteriak minta tolong, berlari, dan mencari pertolongan jika ada orang lain yang menyentuh organ vitalnya. Pendidikan seks usia dini perlu dilatih dan dipraktekkan langsung pada setiap anak secara perorangan ataupun bersama-sama dan bukan hanya diceritakan saja. Pelatihan ini perlu disegarkan kembali dan diulang-ulang minimal setiap enam bulan sekali agar anak memiliki right response atau respon yang benar terhadap setiap ancaman yang datang tak terduga.
Waduh… Parah bingit ya pergaulan anak jaman sekarang!!!
Posted by NyatNyut.com | Agustus 10, 2014, 11:29 am