The Admiral: Roaring Currents dinobatkan sebagai film terlaris di Korea Selatan sepanjang masa mengalahkan karya sineas Hollywood, Avatar (2009) dengan sutradara James Cameron yang sebelumnya mencatatkan rekor menjual 13,5 juta tiket di Korea, seperti yang diberitakan oleh Variety, Sabtu (16/8/2014). Kabar ini makin menegaskan bahwa di Korea Selatan, film mereka menjadi tuan rumah di negeri sendiri dibuktikan dengan kenyataan bahwa masyarakat lebih menyukai film buatan negeri sendiri.
Menjelang dini hari pada Minggu, 17 Agustus, distributor film The Admiral: Roaring Currents, Cj Entertainment mengumumkan sudah menjual 14,227 juta tiket. Dicatat `Variety`, ini artinya menjadi film pertama di Korea yang mencatatkan angka penjualan 14 juta tiket serta yang pertama meraih USD 100 juta. Pada Minggu pagi, filmnya telah meraup keuntungan 109,8 miliar won atau USD 107,6 juta (setara Rp 1,2 trilun). (Baca: Daftar 15 Film Korea Terbaik Sepanjang Masa)
Film The Admiral: Roaring Currents (Myeong-ryang) bercerita tentang sejarah pertempuran Myeongnyang di laut pada abad ke-16 antara Korea melawan Jepang. Saat itu angkatan laut Korea yang hanya terdiri dari 12 kapal perang harus berhadapan dengan 300 kapal perang Jepang. Film yang disutradarai oleh Kim Han-min dengan pemain utama Choi Min-sik dan Ryu Seung-ryong ini sudah dijadwalkan bakal tayang di Indonesia lewat jaringan bioskop Blitzmegaplex. Simak video trailernya di Youtube di bawah ini.
Sejarah Pertempuran Myeongnyang
Berdasarkan sumber Wikipedia, setelah kekalahan Won Gyun, raja menyesali keputusannya dan kembali mengangkat Yi Sun-sin menjadi Tongjesa (pangkat tertinggi dalam angkatan laut di Dinasti Joseon, Kekaisaran Korea). Walau telah mengalami perlakuan buruk dan bahkan bersedih karena baru-baru itu ibunya meninggal dunia, Yi Sun-sin menerima penugasan itu dengan siap. Yi melakukan perjalanan di propinsi Jeolla untuk mengumpulkan kapal, pengungsi dan senjata yang tersisa sebelum menghadapi musuh.
Raja Seonjo mengetahui kesulitan yang dialami Yi Sun-sin yang hanya mendapatkan 13 buah kapal dan menyarankan Yi untuk berhenti berperang di laut dan bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi meyakinkan bahwa ia memiliki alasan kuat untuk melindungi perairan di kawasan Jeolla dan Chungcheong guna mencegah penerobosan Jepang dari jalur laut ke ibukota. Dengan kondisi terjepit karena pasukan musuh berjumlah besar, pasukan Yi Sun-sin memutuskan untuk bergerak ke Selat Myeongnyang.
Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Daerah ini memiliki arus paling deras di Semenanjung Korea yang mencapai 18 km/jam dikarenakan aliran dari laut lepas terdorong ke dalam selat yang sempit. Di selat ini, Yi Sun-sin memasang jebakan bawah air berupa kawat besi yang dapat diputar menggunakan kapstan, sejenis as roda yang digunakan di kapal. Hal itu untuk menggoyahkan dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang berdasar tajam dan dalam yang akan tersangkut jebakan yang dipasang di bawah air.
Pada tanggal 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal. Ketigabelas kapal Laksamana Yi menghadapi musuh dengan menggunakan formasi Iljajin (formasi satu garis). Iljajin adalah salah satu bentuk formasi yang paling sederhana, terdiri atas sekelompok kapal yang berbaris satu-satu dengan haluan menghadap ke arah musuh. Walau begitu, armada Laksamana Yi tidak bisa dengan bebas melakukan gerakan yang lebih bervariasi karena jumlah musuh terlalu banyak.
Berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu sebentar, mereka sudah mengelilingi pasukan Yi. Para kapten kapal dan Laksamana Yi maju menyerang ke gerombolan musuh sendirian dengan menembakkan panah dan meriam. Tiba-tiba, di dekat kapal Laksamana Yi terlihat mengapung mayat musuh yang ternyata adalah Matashi Kurushima, jendral pasukan Jepang. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan. Hal tersebut mengakibatkan kegemparan di antara mereka.
Pada saat itu, arus mulai menjadi deras karena alaminya mengalami pergantian arah setiap 4 jam sekali. Kekuatan aliran mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi mengencangkan kawat besi di bawah air dengan memutar kapstan. Lambung kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Sementara, pasukan Yi terus menggempur. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 tenggelam dan 90 rusak parah dan tak satupun kapal pihak Laksamana Yi kalah. Dalam buku hariannya, Laksamana Yi mencatat bahwa ia bersyukur atas kemenangan yang ia anggap sebagai mukjizat.
Diskusi
Belum ada komentar.