Hakim tunggal bernama Ivonne Tiurma Rismauli dari Pengadilan Negeri (PN) Purbalingga, Jawa Tengah menjatuhkan vonis kepada tiga anak berusia 14 tahun dan 16 tahun yang mencuri 3 ekor bebek dengan hukuman penjara selama 2 bulan dan 15 hari. Pengadilan mengabaikan perdamaian keluarga dan saran Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang meminta ketiga anak di bawah umur itu dikembalikan ke orang tua dan tidak perlu dipenjara.
Seperti yang diberitakan detik.com, kasus bermula saat ketiga anak tersebut tengah bermain air di Sungai Gintung di Desa Tegalpingen, Kecamatan Pengadegan, Purbalingga, pada 14 Desember 2013 siang. Saat asyik bermain air, muncullah segerombolan bebek yang tengah mencari makan di pinggir sungai. Lantas terlintas ulah nakal anak-anak untuk memakan bebek tersebut beramai-ramai.
“Karena biasanya malam minggu berkumpul bersama teman-teman,” kata seorang anak sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (27/8/2014). Dua anak tersebut lalu mengejar dan memegang 3 bebek serta mencekiknya hingga mati. Adapun satu lagi mengawasi tempat sekitar. Setelah itu, bebek itu dibakar di rumah salah satu anak dan makan beramai-ramai. Sore harinya pemilik bebek melaporkan kehilangan ternaknya ke polisi. Keesokan harinya, ketiga bocah ditangkap aparat dari Polsek Pengadegan.
Atas kejadian itu, keluarga para terdakwa telah mendatangi pemilik bebek, Madsuheni. Madsuheni memaafkan perbuatan anak-anak tersebut dan kedua belah pihak lalu berdamai. Meski telah berdamai, kasus ini tetap bergulir ke pengadilan. Dalam sidang tersebut, Balai Kemasyarakatan (Bapas) Purwokerto pada 3 Januari 2014 menyarankan ketiganya untuk dilakukan tindakan dikembalikan ke orang tua masing-masing. Hal ini sesuai dengan pasal 24 ayat 1 huruf a UU Perlindungan Anak.
“Hal tersebut didasarkan pada usia para terdakwa yang masih muda yang labil. Tujuan terdakwa untuk makan bersama-sama, bukan untuk diperjualbelikan,” ujar Bapas. Selain itu, dikhawatirkan jika dipenjara malah memperburuk kondisi psikologis terdakwa karena pengaruh lingkungan penjara. Apalagi, kesepakatan damai tersebut telah disaksikan para pihak dan Kepala Desa.
Namun, hakim tunggal Ivonne Tiurma Rismauli mengesampingkan seluruh argumen Bapas. Hakim lebih sependapat dengan pendapat jaksa yang menuntut para terdakwa selama 5 bulan penjara. Menurut hakim, tujuan pemidanaan adalah membuat pelaku agar tidak berbahaya lagi sehingga dibutuhkan proses pembinaan sikap mental dan bukan pembalasan terhadap perbuatan pidananya. “Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa I, II dan III selama 2 bulan dan 15 hari,” ucap Ivonne dalam putusan 11 Februari 2014 lalu.
Terjadi Disparitas Pidana Anak
Hari-hari belakangan, anak-anak semakin sering berhadapan dengan hukum dalam berbagai variasi tindak pidana. Di kasus-kasus tersebut, pidana yang dijatuhkan adakalanya menjadi polemik di kemudian hari. Seperti dalam kasus kecelakaan maut yang menyebabkan 7 orang meninggal dunia. Anak Ahmad Dhani, AQJ, duduk di kursi terdakwa karena dialah yang menjadi sopir sedan maut itu.
AQJ dinyatakan bersalah atas kelalaiannya mengendarai mobil sedan Mitsubishi Lancer bernomor polisi B 80 SAL di jalan tol Jagorawi Km 8. Dia menabrak mobil yang datang dari arah berlawanan karena menghindari mobil di depannya. Saat itu AQJ diduga memacu mobil dengan kecepatan hingga 176 km per jam.
Hakim tunggal Fetriyanti menyatakan, AQJ bersalah dan melanggar pasal 310 ayat 1, 3, dan 4. Dalam vonis yang dibacakan 16 Juli 2014, Fetriyanti menjatuhkan vonis mengembalikan AQJ ke orang tuanya. Tuntutan percobaan 2 tahun pun kandas.
Beda AQJ, beda pula siswa SMA 3 Jakarta yang harus berhadapan dengan hukum. Empat siswa SMAN 3 Jakarta menjadi terdakwa kasus kekerasan yang mengakibatkan kematian Afriand Caesar (16). Pada Rabu (26/8) kemarin, keempatnya divonis hukuman percobaan. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 3 tahun penjara.
Ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) I Made Sutisna menyatakan empat terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan karena kelalaian menyebabkan orang meninggal dunia. Kasus dengan terdakwa anak juga mengingatkan kasus pencurian sandal jepit di Palu. Pada 4 Januari 2012, hakim tunggal Romel Tampubolon menyatakan AAL terbukti mengambil sandal milik anggota polisi. Atas kesalahan itu, Romel menjatuhkan pidana dengan mengembalikan AAL ke orang tuanya. Putusan itu sama dengan tuntutan jaksa.
Diskusi
Belum ada komentar.