Fadli Zon mengatakan pilkada langsung bertentangan dengan amanat sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra menganggap usulan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD sudah tepat.
Kata “perwakilan”, menurut Fadli, mengizinkan pemilihan kepala daerah tidak harus dipilih langsung oleh rakyat, melainkan bisa dipilih melalui DPRD. “Sudah jelas demokrasi menurut sila keempat, demokrasi perwakilan. Kalau mau pilkada langsung, ubah dulu Pancasila,” kata Fadli Zon saat diskusi ‘Pilkada Untuk Siapa?’ di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (13/9/2014).
Fadli menjelaskan, selama ini pemilihan kepala daerah secara langsung justru menghasilkan kepala daerah yang korup. Pasalnya, mereka harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk kampanye. “Yang dicontohkan media hanya tiga kota kabupaten yang maju. Tapi 300 lainnya terlibat korupsi,” ujarnya.
Sementara dengan pilkada lewat DPRD, menurut Fadli, tidak ada biaya besar yang harus dikeluarkan. Akibatnya, potensi korupsi oleh kepala daerah juga bisa diminimalkan. “Kalau pilkada lewat DPRD, paling biaya konsumsi beli bakwan beli tahu,” ucapnya. RUU Pilkada saat ini tengah dibahas Panitia Kerja DPR. Mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu yang mendapat sorotan. Sebelum Pilpres 2014, tak ada parpol yang ingin jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Namun, kini semua parpol Koalisi Merah Putih, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, ditambah Partai Demokrat, malah mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD. Para bupati dan wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menolak tegas pilkada oleh DPRD.
Tantowi Yahya: Penolak Pilkada oleh DPRD Tak Wakili Rakyat
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya merasa rakyat sebenarnya tidak berkeberatan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Ketidaksetujuan rakyat yang terdengar selama ini, menurut dia, hanya pembentukan opini semata.
“Rakyat yang mana (tidak setuju pilkada lewat DPRD)? Kasihan nama mereka dipakai oleh lembaga survei, konsultan politik, makelar politik, dan media yang terancam bangkrut. Serta kepala daerah yang mau maju lagi, tapi tanpa partai atau lagi cari perhatian agar duduk di kabinet,” kata Tantowi melalui pesan elektronik kepada Kompas.com, Jumat (12/9/2014) siang.
Menurut Tantowi, berbagai kalangan yang selama ini menolak pilkada lewat DPRD tidaklah mewakili aspirasi rakyat. Pasalnya, mereka mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan mereka secara pribadi.
“Bukan rahasia lagi lembaga-lembaga survei itu bukan hanya dapat fee yang besar, tapi juga konsesi-konsesi ketika calon mereka menang. Wajar kalau mereka sekarang biayain LSM-LSM yang sekarang teriak-teriak atas nama ‘rakyat’ dan rencananya akan menyerbu DPR bahkan akan membakarnya,” ujar Tantowi.
“Koalisi Merah Putih kerja keras untuk melawan pembentukan opini yang sekarang sedang berlangsung. Kerja kami berat karena tidak didukung media-media mainstream,” tambah juru bicara Koalisi Merah Putih ini. Tantowi mengaku, dirinya sudah mengadakan survei kecil-kecilan di daerah pemilihannya di Sumsel 2 tentang pilkada langsung dan tak langsung. Respondennya berjumlah 200 orang.
“Sebagian besar mereka enggak begitu peduli mau langsung atau tidak. Toh, kata mereka, kepala daerah hasil pemilihan langsung juga tidak membawa perubahan. He-he-he, di koran malah ramai diberitakan rakyat keberatan,” ujarnya. Tantowi sebagai wakil rakyat di DPR merasa tahu betul apa yang diinginkan rakyat. “Jangan gampang bawa-bawa nama rakyat deh. Saya ini wakil rakyat, punya konstituen riil yang terus komunikasi. Kasihan rakyat dijadikan tameng kepentingan,” pungkas Anggota Komisi II DPR ini.
Pengamat: Koalisi Merah Putih Salah Memaknai Arti Sila Ke-Empat
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sri Nuriyanti menilai, Koalisi Merah Putih salah dalam memaknai arti di balik sila keempat Pancasila ketika menjustifikasi dukungannya terhadap pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Sri mengatakan, sila itu lebih tepat digunakan dalam proses perumusan kebijakan bukan di dalam tata cara pemilihan kepala daerah. “Tidak pas. Sila keempat itu untuk memaknai ketika terjadi permusyawaratan perumusan kebijakan, bukan tata cara pemilihan,” kata Yanti di dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Jumat (12/9/2014).
Ia mengatakan, prinsip one man one vote merupakan sebuah bentuk penghargaan negara kepada warga negara. Pasalnya, negara memberikan kebebasan bagi warga untuk menentukan pilihannya, bukan sebaliknya, mewakilkan pemilihan kepada parlemen. “Penghargaan itu hanya ada ketika dilaksanakan pemilu langsung. Ketika dikembalikan ke DPRD maka tidak ada penghargaan one man one vote,” katanya.
Sementara itu, untuk meminimalisir besarnya biaya pemilihan, ia mengatakan, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah putusan yang dapat menjadi solusi bagi persoalan itu. Putusan itu adalah pelaksanaan pemilu langsung secara serentak. “Penghematannya bisa mencapai sepertiga dari anggaran seluruh pemilu,” katanya.
Ia menjelaskan, pelaksanaan pemilu secara terpisah membuat negara harus mengeluarkan uang tiga kali lipat untuk membiayainya. Pasalnya, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, dan pemilihan bupati/wali kota harus berjalan sendiri-sendiri. “Kalau dilaksanakan serentak, maka biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk tiga pemilu itu cukup dikeluarkan satu kali saja. Jadi lebih hemat,” katanya.
Diskusi
Belum ada komentar.