Meskipun memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia, Indonesia ternyata masih mengimpor garam. Data Kementerian Perdagangan menyatakan impor garam Indonesia pada periode Januari-September 2014 tercatat senilai US 81,4 juta. Naik 17,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sepanjang 2013, impor garam Indonesia adalah senilai US$ 88,71 juta. Turun dibandingkan setahun sebelumnya yaitu U$ 107,96 juta. Dalam 6 tahun terakhir, impor garam terbesar terjadi pada 2011 yang senilai US$ 146,49 juta.
Berikut adalah perkembangan impor garam periode 2009-2014:
- 2009: US$ 91,07 juta
- 2010: US$ 109.24 juta
- 2011: US$ 146,49 juta
- 2012: US$ 107,96 juta
- 2013: US$ 88,71 juta
- 2014 (per September): US$ 81,4 juta
Menteri Susi Akan Stop Impor Garam
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengambil sikap untuk menyetop impor garam. Hal itu ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. “Insya Allah garam impor akan disetop,” tegas di acara Adibakti Mina Bahari 2014, Gedung Mina Bahari III, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Kamis (4/12/2014). Pernyataan Susi ini diikuti tepuk tangan ratusan pelaku usaha di sektor perikanan dan kelautan Indonesia.
Susi yang mengenakan pakaian hitam dan berselendang merah batik bermotif menjelaskan alasannya menghentikan impor garam, karena tersedianya pasokan garam di dalam negeri. “Kita tidak boleh lagi punya policy dan regulasi yang menguntungkan minoritas. Pengusaha impor (importir) itu berapa jumlahnya, petani kita jumlahnya ribuan,” imbuhnya.
Susi juga mengatakan, telah melakukan koordinasi dengan 2 kementerian teknis lainnya yaitu Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Susi mengklaim 2 kementerian itu setuju atas usulannya.
“Sudah confirm. Kalau anda melakukan itu sebagai pejabat anda tidak amanah. Kita sebagai regulator wajib untuk mempunyai sifat amanah,” tegas Susi.
Kualitas Garam Lokal Kalah dengan Impor
Meskipun tidak semua produksi garam lokal bermutu rendah, namun kenyataannya masih banyak kelemahan produksi garam lokal. Misalnya soal kualitas garam lokal dinilai rendah karena warnanya yang kotor karena masih pakai sistem tradisional.
“Hasil garam lokal itu mayoritas berwarna cokelat karena tercampur lumpur tanah,” ungkap Pelatih di bidang Garam Nasional, Balai Diklat Perikanan Tegal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Drajat saat ditemui detikFinance di Kantor KKP, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Rabu (3/12/2014).
Selain warnanya butek atau keruh, kandungan Natrium klorida (NaCl) dan Magnesium garam lokal sangat rendah dibandingkan garam impor. “Kandungan NaCL magnesium kurang dari 94%,” imbuhnya. Padahal menurut Drajat sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), setidaknya ada 13 kriteria standar mutu yang harus dipenuhi oleh produsen garam, antara lain penampakan bersih, berwarna putih, tidak berbau, tingkat kelembaban rendah, dan tidak terkontaminasi dengan timbal/bahan logam lainnya.
Selain itu, syarat untuk memenuhi SNI, kandungan NaCl untuk garam konsumsi manusia tidak boleh lebih rendah dari 97% untuk garam kelas satu, dan tidak kurang dari 94% untuk garam kelas dua.
Diskusi
Belum ada komentar.