
Garuda Indonesia penerbangan 421 yang terbang dari Mataram (NTB) menuju Yogyakarta, jatuh di Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah setelah mengalami mesin terbakar pada (16 Januari 2002) dan menewaskan seorang awak, 54 penumpang dan 5 awak lainnya selamat. (Foto: Wikipedia)
Kecelakaan yang dialami AirAsia QZ8501 ternyata mirip seperti yang dialami oleh pesawat Garuda Indonesia Airline pada tahun 2002, yang mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo. Profesor Edvin Adrian menyimpulkan bahwa cuaca merupakan faktor pemicu terjadinya kecelakaan AirAsia QZ8501.
“Butiran-butiran es dapat menyebabkan mesin pesawat mengalami kerusakan karena pendinginan.” Analisis mengenai gunung butiran es itu dipublikasikan di situs Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), belum lama ini.
“Analisis awal menunjukkan pesawat AirAsia kemungkinan telah masuk ke awan badai, “ tulis Kepala Penelitian dan Pengembangan BMKG itu, seperti diberitakan Tempo. Ia kemudian memaparkan kemiripan kesulitan cuaca yang dihadapi AirAsia QZ8501 dengan sejumlah kecelakaan penerbangan.
Diantaranya Garuda Indonesia Airlines dengan nomor penerbangan 421 yang mendarat darurat di Bengawan Solo pada 6 Januari 2002, dan Adam Air yang jatuh di Perairan Majene, Sulawesi pada 1 Januari 2007.
Sebelum mendarat darurat di sungai, Garuda 421 mengalami kerusakan mesin ketika mencoba masuk awan badai. Dua mesin pesawat Boeing 737-300 ini mati sehingga harus mendarat darurat. Semua penumpang akhrinya selamat, kecuali seorang pramugari yang meninggal karena terseret arus sungai.
Data dari pencitraan satelit dan rekaman pernyataan pilot, pesawat Garuda 421 yang terbang dari Lombok menuju Yogyakarta itu menunjukan bahwa pilot berupaya menerbangkan pesawat menuju ke celah anatara dua badai. Pilot melaporkan bahwa mereka mencoba terbang di celah antara dua badai yang dapat dilihat dari radar cuaca pesawat. Setelah 90 detik memasuki badai, kedua mesin pesawat mati. Listrik dari generator yang berada di kedua mesin pesawat pun tidak menyala.
Begitu pula yang terjadi pada kecelakaan Adam-Air-574 rute Surabaya-Manado yang jatuh di perairan Majene pada 2007. Kesimpulan penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi menyebutkan, pada saat itu pilot sibuk memperbaiki instrumen navigasi inertial reference system (IRS). Pilot berdiskusi mengenai hal itu selama sembilan menit hingga mengabaikan instrumen penerbangan lainnya. Pemicu kerusakan IRS pada pesawat Boeing 737-400 itu juga cuaca yang buruk.
Kisah Pilot yang Mendarat di Bengawan Solo
Awan kumulonimbus atau cumulonimbus (CB) kerap disebut sebagai “musuh” utama dalam dunia penerbangan. Masuk ke dalam awan ini berarti akan merasakan guncangan hebat dan diterpa hujan—yang terparah berupa butiran es—deras.
Efek bagi pesawat yang masuk ke dalam CB adalah gangguan terhadap instrumen hingga mesin mati. Gagal melewati CB merupakan salah satu dugaan awal atas hilangnya pesawat AirAsia berkode penerbangan QZ8501 pada Minggu (28/12/2014).
Abdul Rozaq (58) adalah salah satu pilot Garuda Indonesia yang pernah mengalami rasanya berada di tengah CB. Dia adalah pilot yang mendapat pujian dunia karena bisa melakukan pendaratan darurat di atas Sungai Bengawan Solo, dengan semua penumpang selamat.
Dalam insiden tersebut, satu pramugari meninggal di tengah proses mengeluarkan penumpang dari pesawat, setelah melewati CB dan pendaratan darurat. Insiden tersebut terjadi pada 17 Januari 2002.
“Saat itu pesawat saya belum berteknologi secanggih sekarang, terutama untuk weather radar, alat yang bisa memproyeksikan kondisi cuaca di depan pesawat hingga jarak 20 mil sampai 40 mil,” tutur Rozaq di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno-Hatta, Senin (29/12/2014), seperti yang dilansir dari Kompas.com.
Rozaq menuturkan, pada waktu itu, dia menerbangkan Boeing 737 dalam penerbangan dari Mataram ke Yogyakarta. Ketika pesawat sudah mengarah ke Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, ujar dia, pesawat tiba-tiba berhadapan dengan CB yang sangat besar.
“Jaraknya sudah sangat dekat, sangat sulit untuk menghindar. Kalau enggak salah, di sebelah kiri restricted area, kanannya gunung-gunung, jadi mau enggak mau harus masuk ke dalam awan CB,” kenang Rozaq.
Terguncang dan mesin mati
Begitu sudah berada di dalam CB, lanjut Rozaq, pesawat terguncang bahkan terpental-pental naik-turun hingga sejauh 500 kaki. Prosedur penerbangan darurat pun langsung diaktifkan, termasuk menyampaikan kepada penumpang untuk duduk dan mengenakan sabuk keselamatan, serta berkoordinasi dengan menara pengatur lalu lintas udara (ATC) terdekat.
Namun, tak berselang lama sejak masuk ke dalam CB, mesin kedua di pesawat itu mati karena membeku terkena imbas CB. Komunikasi dengan ATC pun terputus. Selama beberapa waktu, pesawat terbang tanpa kepastian dan tak tahu kondisi lalu lintas udara di sekitarnya.
“Kami restart mesin, tetapi tidak berhasil. Kopilot teriak mayday, mayday. Saat itu sudah pasrah dan berdoa saja. Kemungkinan terjelek, kami semua mati,” tutur Rozaq. Mayday adalah kode yang menyatakan kondisi darurat dalam dunia transportasi internasional, terutama penerbangan.
Menurut Rozaq, ketinggian pesawat juga sudah turun dari area jelajah 30.000 kaki menjadi 20.000 kaki, dan sudah semakin dekat dengan Bandara Adisutjipto. Perlahan pesawat melewati CB, dan daratan mulai terlihat, tetapi pesawat tak pada posisi bisa langsung mendarat di bandara tujuan.
Dari semua pilihan yang membentang di depannya, Rozaq memutuskan mendarat di permukaan Sungai Bengawan Solo. “Masih dengan tangan gemetar dan shock, saya coba memberi tahu petugas terdekat (dari lokasi pendaratan darurat),” kata dia.
Diskusi
Belum ada komentar.