Dua pasien RS (Rumah Sakit) Siloam Karawaci, Tangerang meninggal dunia setelah diberikan infus yang berisikan obat bius atau anastesi yang ternyata bungkus atau labelnya tertukar. Obat tersebut ternyata bukan berisi bupivacaine atau untuk pembiusan, melainkan asam traneksamat yang bekerja untuk mengurangi pendarahan.
“Ini kebetulan saja etiketnya atau bungkusannya itu yang tertukar. Jadi, sangat menyedihkan ini terjadi,” ujar Kepala Hubungan Masyarakat RS Siloam Heppi Nurfianto, seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (17/2/2015).
Heppi menjelaskan, kasus ini terjadi terhadap pasien yang melakukan operasi caesar dan urologi. Kedua pasien meninggal dalam waktu berdekatan pada tanggal 12 Februari 2015. Sementara itu, pasien lainnya tidak mengalami masalah.
“Tindakan dilakukan sesuai prosedur, namun setelah disuntik buvanest spinal 0,5 persen heavy oleh dokter anastesi terjadi hal di luar perkiraan. Pasien mengalami gatal-gatal kejang hingga akhirnya kami masukkan ke ICU dan meninggal 24 jam pascapenyuntikan ,pasien obgyn, bayinya selamat,” kata Heppi.
Menurut Heppi, RS Siloam akan memberikan keterangan lebih lanjut dalam waktu dekat bersama pihak Kementerian Kesehatan, Kalbe, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sementara itu, pihak Kalbe juga telah melakukan penarikan semua produk Buvanest dari pasaran. Investigasi lebih lanjut tengah dilakukan bersama BPOM.
Menyusul kasus ini, PT Kalbe Farma langsung menarik obat anestesi Buvanest Spinal. Penggunaan obat itu pun untuk sementara dihentikan oleh para dokter di rumah sakit.
“Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia telah memberikan safety alert, dan kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi, menghentikan penggunaan obat Buvanest itu untuk kehati-hatian sambil menunggu hasil investigasi menyeluruh,” terang Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparingga, Selasa (17/2/2015).
Roy menjelaskan, penarikan secara mandiri telah dilakukan pihak Kalbe Farma sejak 12 Februari 2015. BPOM telah melakukan uji sampel obat yang ada di Rumah Sakit Siloam. BPOM juga tengah melakukan investigasi mendalam terhadap kasus yang menyebabkan dua pasien meninggal dunia setelah penggunaan obat anestesi itu.
“Kalbe melakukan penarikan mandiri. Itu memang sudah aturannya jika ada suatu kejadian yang serius. Mereka menarik, dan kami mengawasi. Yang jelas, semua injeksi Buvanest itu ditarik. Di lapangan tidak beredar,” ujar Roy. Roy juga meminta masyarakat tak perlu khawatir yang berlebihan dengan pemberian obat anestesi atau obat bius di rumah sakit.
Sementara itu, Manajer Komunikasi Eksternal PT Kalbe Farma Hari Nugroho mengatakan, penarikan Buvanest Spinal merupakan insiatif Kalbe sebagai tindakan pencegahan. Namun, ia enggan berspekulasi apakah penarikan Buvanest Spinal 0,5 persen itu berkaitan dengan kasus meninggalnya dua pasien di RS Siloam.
“Kita memang melakukan evaluasi Buvanest dan inisiatif melakukan penarikan. Kita juga telah berkoordinasi dengan BPOM,” terang Hari.
Ahli Farmasi: Tidak Masuk Akal kalau Obat Sampai Tertukar
Dugaan etiket atau bungkusan obat anestesi yang tertukar sehingga menyebabkan pasien meninggal dunia dinilai ahli farmasi sangat tidak masuk akal.
“Kalau sampai keliru itu tidak masuk akal karena semua produk farmasi memiliki standar prosedur operasi (SOP), yakni cara pembuatan obat yang baik dan benar,” kata A Hadiutomo, Anggota Dewan Penasihat Ikatan Apoteker Indonesia, ketika dihubungiKompas.com, Selasa (17/2/2015).
Ia mengatakan, obat anestesi bupivacaine dan juga asam traneksamat yang saling tertukar itu bukanlah obat baru. Menurut Haditomo, setiap perusahaan farmasi sudah memiliki kontrol kualitas (QC) dalam produksinya.
“Jadi waktu obat dimasukkan harus sesuai antara wadah dan isinya. Pasti ada QC sejak pembuatan sampai selesai,” paparnya. Ia menambahkan, jika memang obat yang disuntikkan bukanlah obat anestesi, mengapa pasien bisa menjalani operasi dengan tenang.
“Masih ada masalah yang perlu diperjelas. Ada missing link dalam kasus ini. Berarti ini bukan sekadar salah obat saja,” paparnya. Dugaan bahwa pasien memiliki alergi berat pada jenis obat yang disuntikkan juga perlu diselidiki lagi. “Kalau memang alergi, seberapa berat derajatnya,” katanya.
Kasus dugaan kesalahan obat ini, menurut Haditomo, harus menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk menuruti ketentuan undang-undang kesehatan yang berlaku. “Sebenarnya semua sudah diatur dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009, terutama Pasal 108. Kalau semua prosedur dipatuhi, kasus seperti ini tidak perlu terjadi,” katanya.
Diskusi
Belum ada komentar.