Biaya hidup di Jepang relatif sangat tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan Eropa. Dengan luas wilayah hanya sekitar 377.944 km persegi, harga sewa apartemen dan perumahan di negeri sakura ini sangat mahal.
Dilansir dari Business Insider, harga jual apartemen satu tempat tidur dengan luas sekitar 411 meter persegi mencapai sekitar $21 juta, termahal di dunia. Jadi bagaimana dengan pekerja dengan gaji pas-pasan disana? Menyewa apartemen dengan beberapa teman mungkin bisa menjadi solusi untuk menghemat biaya.
Namun, Fumiya, pria ini memutuskan untuk tinggal, beristirahat serta tidur di warnet yang banyak tersebar di Tokyo. Aktivitas ini sudah dilakukannya hampir setahun.
Awalnya, Fumiya terganggu dengan dengkuran serta langkah kaki pengunjung warnet di malam hari. Namun, hal-hal kecil seperti itu tidak lagi mengganggunya setelah beberapa bulan merasakan tidur di warnet. Agar bisa tidur cukup nyaman, Fumiya harus menutupi wajahnya dengan selimut agar lampu neon yang tetap menyala sepanjang malam tidak mengganggunya.
Dengan melakukan hal itu setiap malam, Fumiya mulai merasa tidur di warnet tidak terlalu buruk baginya. “Tidur di warnet ternyata tidak seburuk itu,” kata Fumiya seperti dilansir situs disposableworkers.com dan merdeka.com, Senin (23/3).
Fumiya mulai tinggal di warnet setelah keluar dari pekerjaannya dan tidak lagi memiliki pendapatan yang cukup untuk menyewa apartemen. Akhirnya, Fumiya menyewa bilik khusus di warnet selama 12 jam hanya untuk tidur. Hal itu dilakoninya selama beberapa waktu hingga kemudian Fumiya berpikir bahwa dia bisa memanfaatkan bilik tersebut sebagai tempat tinggal.
Untuk bisa tinggal di bilik warnet tersebut, Fumiya memilih paket diskon bulanan. Fumiya hanya membayar 1.920 yen (RP 208.274) atau USD 25 per hari atau USD 750 per bulan untuk bisa tidur di bilik warnet. Harga yang harus dia bayar masih jauh lebih murah bila dibandingkan dengan menyewa apartemen di Tokyo lantaran dia tidak harus mengeluarkan biaya untuk kebutuhan lainnya seperti furnitur hingga uang keamanan.
Jepang sendiri sudah mengembangkan warnet sejak lebih dari 10 tahun lalu. Fasilitas warnet di Jepang pun kian lengkap di mana berbagai sarana dan akomodasi bagi para pengguna warnet terus dilengkapi mulai dari tempat mandi, jasa cuci baju dengan paket harga terjangkau bagi pengguna yang bermalam. Masyarakat Jepang pun mulai marak memanfaatkan warnet sebagai tempat tinggal.
Bagi Fumiya, bilik yang disekat seukuran bathup, cukup besar baginya untuk bisa tidur tanpa harus melipat kaki. Selain itu, warnet tempatnya tinggal tidak hanya bersih tetapi juga dilengkapi dengan minuman gratis sepuasnya, selimut dan bantal.
Saat ini, Fumiya bekerja sebagai satpam berpenghasilan 230.000 yen (Rp 24.949.531) atau USD 2.900 per bulan. Menurutnya, butuh 1 juta yen (RP 108.476.225) atau USD 13.000 guna membayar uang jaminan, biaya makelar, dan furniture untuk apartemen di Tokyo. Butuh sekitar dua hingga lima tahun bagi Fumiya untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dengan pekerjaannya sekarang.
“Kami membutuhkan tempat seperti warnet. Tanpa warnet, akan banyak orang yang memiliki pekerjaan tetapi tidak punya tempat tinggal,” tutur Fumiya.
Menurut Makoto Kawazoe dari serikat pekerja di Jepang, fenomena orang tinggal di warnet mulai terjadi pada akhir tahun 1990-an dan meningkat drastic pada tahun 2000-an. Menurutnya, 38 persen pekerja di Jepang adalah outsourcing dengan kontrak yang pendek dan gaji lebih kecil dari setengah gaji pegawai tetap.
Sehingga, semua pekerja berlomba-lomba menjadi pegawai tetap agar dapat hidup layak termasuk membayar sewa apartemen. Namun menjadi pegawai tetap tidaklah enak. Jam kerja dan tingkat stres harus dihadapi.
Tadayuki Sakai, seorang pekerja lainnya yang kini juga tinggal di warnet di Tokyo selama 4 bulan dulunya merupakan pekerja tetap di sebuah perusahaan kartu kredit sebagai pengatur sistem komputer. Dia bekerja selama 200 jam sebulan sehingga tak sempat pulang ke rumah dan harus menginap di kantor.
Karena terlalu sibuknya bekerja, ia tidak tahu apakah hari itu siang atau malam. Orang disekitarnya menyebutnya sebagai pria gampang tersinggung, emosional dan stres. Namun, ia tidak peduli akan hal itu sampai suatu saat dokter mendiagnosanya mengidap depresi tingkat tinggi yang mengharuskan menghabiskan waktu berbulan-bulan menyembuhkan penyakit itu.
Akhirnya, bos tempat dia bekerja menganggapnya lemah dan tidak cakap bekerja sehingga ia tidak pernah memperoleh kenaikan gaji. Setelah bekerja selama 20 tahun, ia mengundurkan diri. Dengan gaji dari pekerjaannya sebagai pegawai outsourcing sekarang ini, ia hanya mampu menyewa bilik warnet untuk tempat tinggalnya. Walaupun demikian, kini ia merasa hidup bahagia dan tidak pernah stres lagi.
Simak kisah Fumiya dan Tadayuki dalam video berjudul “Japan’s Disposal Workers Net Cafe Refugees” di bawah ini.
Diskusi
Belum ada komentar.