Menjelang Kongres PDIP 8-12 April 2015 di Bali, beredar kabar bahwa Puan Maharani akan diplot menjadi menempati posisi wakil ketua umum PDIP. Politikus PDIP Trimedya Panjaitan mengatakan, posisi baru waketum akan dibahas di arena kongres. Namun, secara pribadi, dia mendukung adanya posisi baru tersebut.
Alasan lain Puan dipilih adalah kedekatan dengan ketua umum (Ketum). Puan merupakan putri Megawati Soekarnoputri. Menurut Trimedya, Megawati membutuhkan orang yang bisa diajak berdiskusi panjang lebar tentang partai. Selain itu, Puan mengerti karakter serta pemikiran Ketum PDIP tersebut. ”Yang pantas ya Mbak Puan,” kata dia, seperti dikutip dari Jawa Pos.
Apabila menjadi wakil ketua umum PDIP, tentu Puan harus meninggalkan jabatannya sebagai menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan (Menko PMK). Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang para pembantunya merangkap jabatan di partai politik (parpol). Kecuali jika nanti Jokowi merevisi kebijakan tersebut.
Trimedya mengatakan bahwa hal itu nanti diatur. Menurut dia, sebagai wakil ketua umum, Puan masih bisa menjabat Menko PMK. ”Kan bisa dia menjabat Waketum, tapi nonaktif,” jelasnya.
Dia menambahkan, sebagai Waketum, Puan tidak harus selalu hadir dalam rapat-rapat partai. Trimedya menjamin bahwa Puan masih bisa berfokus di Kabinet Kerja. ”Kan bisa sumbang pemikiran saja. Nggak perlu harus hadir secara fisik,” paparnya.
Akankah Jokowi tetap konsistensi melarang menteri rangkap jabatan di parpol? Apakah keberanian elite PDIP melawan kebijakan Jokowi itu atas titah Ketum Megawati?
Ketua DPP PDIP Effendi Simbolon adalah orang pertama yang berani bicara blak-blakan melawan kebijakan Jokowi tersebut. Ia menyebut Jokowi tak boleh alergi dengan parpol. “Saya sih melihat sebenarnya, aturan yang lisan yang dipakai Pak Jokowi itu sih sebenarnya tidak mendasar. Kalau kembali, Pak Jokowi kan dari partai. Kok menjadi seperti alergi sekali sama partai?” kata Effendi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2015), dilansir dari Detikcom.
“Apa salahnya sih? Seperti Pak Muhaimin, tidak boleh. Apa relevansinya ketum partai jadi menteri. Jadi, suatu ketika Puan di partai, salahnya di mana,” lanjutnya. Rupanya Effendi termasuk yang mendukung putri mahkota Puan Maharani kembali masuk pengurus PDIP. Puan memang nonaktif dari PDIP setelah menjabat Menko PMK.
“Hal wajar-wajar saja jika ada waketum dan dijabat Mbak Puan. Kan itu memenuhi organisasi saja. Jangankan waketum, jadi ketum saja sudah layak,” ucap Effendi.
Setelah Effendi, sejumlah elite PDIP beramai-ramai menyuarakan hal yang sama. Mereka saling melontarkan argumen bahwa tak relevan melarang menteri harus mundur dari parpol.
“Itu kan kata Pak Jokowi. Kita jadi dewan, urus partai mampu. Jadi bupati urus partai, mampu. Tidak ada relevansinya. Jadi pengurus partai sambil urus eksekutif, itu bisa jadi efektif pada aspek legitimasi dan dukungan politik sehingga tidak mudah diganggu,” kata politikus PDIP Arif Wibowo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2015).
Kini muncul pertanyaan besar mengingat yang melontarkan perlawanan itu tak lain adalah orang dekat Puan Maharani, terutama apakah dorongan itu memang atas kehendak tuan putri, atau yang lebih mantap lagi didasari oleh titah Ketum Megawati?
Lalu apakah Jokowi akan mengikuti kata PDIP atau mungkinkah akan ada titah Ibu Mega lainnya? Kita tunggu saja
Diskusi
Belum ada komentar.