//
Anda membaca...
Hukum dan Peristiwa

Sejarah Etnis Muslim Rohingya dan Masalah Pengungsian yang Rumit

Ratusan pengungsi Rohingya ditampung di kamp pengungsian di Kuala Langsa, Aceh

Ratusan pengungsi Rohingya ditampung di kamp pengungsian di Kuala Langsa, Aceh. (Foto: Capture video Rappler)

Masalah pengungsian kelompok etnis muslim Rohingya memang rumit. UNHCR mencatat bahwa diperkirakan ada 400.000 pengungsi Rohignya di Bangladesh. Sekitar 200.000 orang di Pakistan, 20.000 di Thailand, 15.000 di Malaysia, dan sekitar 2.000 orang di Indonesia. Sisanya sekitar 750.000 warga Rohingya tetap tinggal di sebelah utara Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Sebagian besar negara tersebut bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 meliputi prinsip-prinsip untuk tidak melakukan pemulangan (nonrefoulment), tidak melakukan pengusiran (non-expulsion), tidak melakukan pembedaan (non-discrimination), dan menghindari pemidanaan akibat cara masuk yang ilegal bagi para pengungsi yang tiba.

Negara anggota ASEAN yang menjadi pihak penandatangan konvensi ini hanya Filipina (1981) dan Kamboja (1992), sementara negara anggota lain termasuk Indonesia dan Malaysia tidak ikut meratifikasi konvensi tersebut. Tidak heran, sebuah karikatur di media sosial menggambarkan bagaimana para pengungsi Rohingya ditolak oleh sebagian negara ASEAN.

Sebenarnya bagaimanakah sejarah etnis Rohingya? Berikut pembahasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Ada banyak versi sejarah yang melatarbelakangi gelombang pengungsi Rohingya dan sulit untuk menjelaskan versi masing-masing dalam ruang yang terbatas ini.

Yang pasti, Rohingya atau migran Bengal adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Burma. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang berlawanan dengan mayoritas rakyat Burma yang Sino-Tibet).

Menurut orang Rohingya sendiri, mereka mengklaim sebagai suku asli di Arakan walaupun banyak sejarahwan berpendapat lain, mereka bermigrasi ke Myanmar dari Bengal dalam tiga tahap yaitu semasa penjajahan Inggris periode 1826-1948, sesudah kemerdekaan Myanmar (1948) dan Perang Kemerdekaan Bangladesh tahun 1971.

Dalam catatan sejarah, umat muslim di Arakan ada sejak abad ke-15 meskipun ada catatan menyatakan sekelompok muslim sudah menetap sebelum daerah itu dijajah Inggris Raya. Sesudah Perang Inggris-Burma pertama pada 1826, Inggris mencaplok wilayah Arakan dan mengimpor penduduk dari Bengal untuk dijadikan pekerja pertanian. Populasi muslim di Arakan hanya sekitar 5% sebelum 1869.

Sensus pemerintahan Inggris Raya mencatat jumlah warga muslim di Arakan melonjak lebih dari tiga kali lipat dari 58.255 menjadi 178.647 di Distrik Akyab selama periode 1872-1911. Selama perang dunia, tentara Inggris Raya merekrut etnis Rohingya dan penduduk Rakhine beragama Buddha sehingga wilayah Arakan menjadi terpolarisasi.

Pada tahun 1982, pemerintahan junta militer Jendral Ne Win menolak etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pada tahun 2013 tercatat, etnis Rohingya di Burma berjumlah sekitar 735 ribu jiwa. Kini ditaksir jumlah mereka di kisaran 1,3 juta hingga 1,5 juta jiwa.

Alasan Orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar

Pencabutan kartu identitas penduduk yang dikenal sebagai Kartu Putih bagi orang Rohingya oleh pemerintah Myanmar mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nekat mempertaruhkan nyawa mengarungi laut.

Sekitar 300.000 Kartu Putih, tanda terakhir yang menunjukkan mereka adalah penduduk Myanmar, sudah diminta dikembalikan oleh pihak berwenang dan dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret lalu. Dengan kartu itu, kaum Rohingya antara lain boleh memberikan suara dalam pemilihan umum.

“Mereka sudah dianggap bukan warga negara, sekarang dokumen tidak ada,” jelas Utusan Khusus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk Myanmar, Tan Syed Hamid Albar, seperti diberitakan BBC Indonesia.

“Bila tidak ada dokumen dan tidak ada tempat bagi mereka, bergerak pun tidak boleh, untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain tidak boleh, ada undang-undang yang menyekat pergaulan, yang bahkan menyekat cinta, maka akhirnya mereka mencari jalan,” tambah mantan menteri luar negeri Malaysia itu.

Mereka menumpang kapal-kapal yang diduga dikendalikan oleh jaringan penyelundup manusia dengan tujuan utama Malaysia. Pulau Langkawi, Malaysia didarati oleh 1.107 orang, pengungsi Rohingya dan migran Bangladesh, yang kemudian ditempatkan di Pusat Detensi Imigrasi Belantik, Negara Bagian Kedah.

Sekitar 1.800 orang diselamatkan di Aceh melalui tiga gelombang. Ribuan orang lainnya diperkirakan masih berada di laut. Seorang anggota parlemen Myanmar dari etnik Rohingya, Shwe Maung, mengatakan masa berlaku Kartu Putih dinyatakan berakhir setelah muncul protes keras dari kelompok-kelompok nasionalis Buddha Februari lalu, padahal baru saja disahkan rancangan undang-undang yang menyatakan pemilik kartu mempunyai hak pilih.

Kala itu, pemerintah Myanmar mengatakan akan membentuk komisi guna mengkaji persoalan Kartu Putih. Pencabutan, tuturnya, jelas membuat warga resah. “Masih tidak jelas jenis kartu apalagi yang akan diberikan, tapi belum ada sampai sekarang.”

Menyusul gelombang kerusuhan, termasuk tahun 2012 yang menewaskan setidaknya 200 orang , mereka ditempatkan di kamp-kamp dan tidak diizinkan bekerja di luar lingkungan tempat tinggal. Pemerintah beralasan lokalisasi dilakukan untuk melindungi mereka dari amukan massa.

Masalah Pengungsian Rohingya yang Rumit

Dinna Wisnu, PhD, seorang pengamat hubungan internasional dalam tulisannya di sindonews.com mengatakan perhatian dunia internasional yang terbatas dan solusi politik yang lambat terhadap masalah Rohingya telah menimbulkan akumulasi dampak negatif baik politik maupun ekonomi bagi negaranegara penerima maupun komunitas Rohingya itu sendiri.

Dampak negatif terutama disebabkan para pengungsi Rohingya membutuhkan pekerjaan dan pendapatan, sementara bantuan yang diterima tidak mencukupi. Mereka juga tinggal di wilayah pengungsian yang tidak layak sehingga mendorong mereka untuk segera mendapatkan penghasilan. Walaupun banyak yang mendapatkan pekerjaan dengan baik, tidak sedikit juga yang melanggar hukum.

Di Bangladesh sebagai contoh, Perdana Menteri Dipo Moni di tahun 2009 mengatakan bahwa ribuan pengungsi Rohingya yang tidak tercatat telah terlibat dalam illegal logging di kawasan konversi hutan lindung. Pemerintah Bangladesh juga kerap harus mendampingi warga Rohingya pemegang paspor Bangladesh di Arab Saudi yang melakukan tindakan kriminal.

Di beberapa kota di Bangladesh, pengungsi Rohingya juga mengambil pekerjaan-pekerjaan kasar seperti buruh harian dan tukang becak sehingga menimbulkan kecemburuan sosial dan pengangguran. Para pengungsi Rohingya yang telah hidup sangat menderita menjadi rentan untuk direkrut oleh kelompokkelompok militan seperti Rohingya Solidarity Organization (RSO) dan The Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF).

Kedua organisasi ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Rohingya sendiri. Gambaran yang negatif tersebut pada akhirnya membuat gambaran keseluruhan tentang orang Rohingnya menjadi suram. Situasinya makin terpojok dan solusi politik yang ditunggu tak kunjung datang.

Mereka telah digolongkan sebagai warga yang tidak memiliki kewarganegaraan karena Pemerintah Myamar melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 memiliki tiga kategori kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan nasional, asosiasi, dan naturalisasi. Etnik Rohingya sulit untuk memenuhi kriteria itu karena sejarah dan budaya yang berbeda.

Undang-Undang Kewarganegaraaan itu kemudian juga dibalas Bangladesh yang melakukan amendemen undangundang kewarganegaraan mereka di tahun yang sama. Amendemen mengatakan bahwa etnik Rohingya bukan bagian dari suku nasional mereka walaupun memiliki karakter fisik dan agama yang sama. Kunci dari masalah etnik Rohingya memang harus diselesaikan bersama-sama di tingkat internasional.

Ironisnya, belum ada forum yang bisa dianggap sebagai wadah pencari solusi untuk kasus ini. Etnik Rohingya adalah salah satu etnik yang dapat dikatakan terpenjara di wilayah mereka sendiri. Semakin berlarutnya masalah ini membuat stereotip orang Rohingya menjadi momok yang menghambat solusi kemanusiaan bagi kelompok ini. Untuk itulah kasus ini perlu penanganan khusus. Apakah PBB sanggup membuka jalur dialog yang efektif untuk kasus ini?

Kini beredar rencana untuk pengungsi Rohingya yang akan ditampung di satu pulau. Usul ini mengemuka dalam pembicaraan antara Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Kapan pastinya usul ini akan terealisasi belum bisa dipastikan. Konsepnya mungkin mengikuti model pengungsi Vietnam di Pulau Galang.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Gravatar
Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: