Mahkamah Agung (MA) melipatgandakan hukuman Anas Urbaningrum dari 7 tahun penjara menjadi 14 tahun penjara pada Senin (8/6/2015). Anas juga wajib mengembalikan harta yang dikorupsinya sebesar Rp 57,5 miliar. Disamping itu, MA juga mencabut haknya dipilih untuk menduduki jabatan publik.
Anas dihukum oleh majelis kasasi yang beranggotakan Artidjo Alkostar dengan anggota yang merupakan hakim ad hoc, MS Lumme dan Prof Dr Krisna Harahap. Artidjo merupakan satu dari para tokoh masyarakat di bidang hukum yang direkrut menjadi hakim agung, sama seperti Bagir Manan, Abdul Rahman Saleh, Surya Jaya, Komariah Emong Sapardjaja dan Gayus Lumbuun
Putusan mereka dianggap mendekatkan keadilan dengan rakyat. Sayang, kiprah besar para tokoh masyarakat ini seakan dinafikkan oleh Komisi Yudisial (KY). Hal itu terbukti empat tahun terakhir KY tidak meluluskan para tokoh masyarakat untuk menjadi hakim agung.
Ya, setelah 2011, tidak ada satu pun tokoh masyarakat yang diluluskan KY menjadi hakim agung. Pada 2012, DPR memilih 8 hakim agung baru yang dilantik pada awal 2013. Tapi, dari kedelapan nama itu, tidak ada hakim agung dari masyarakat.
Berikut profil singkat ketiganya yang dikutip dari beberapa sumber.
1. Artidjo Alkostar
Artidjo memulai karier hukumnya sebagai pengacara LBH Yogyakarta dan juga dikenal sebagai mantan aktivis jalanan. Saat menjadi pengacara, ia pernah menangani kasus berat seperti penembakan misterius, penggusuran candi borobudur (dan) prambanan, di Timor Timur, di Madura, (kasus) petani garam Madura, subversi di Madura, penyelewengan pemilu di Madura.
Background pengalaman batin itu mempengaruhi dirinya sehingga ia beranggapan senjata utamanya hanya kebenaran moral saja. Artidjo memakai jubah emas hakim agung usai gegap gempita reformasi yaitu akhir tahun 2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Usai memegang palu, ia tetap menjaga ritme idealisme. Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1949 mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapat (dissenting opinion)-nya dalam banyak kasus besar. Pria yang saat ini menjabat Ketua Muda Kamar Pidana MA memang dikenal keras dan selalu memberikan hukuman maksimal kepada para terdakwa tindak pidana korupsi.
Ia mengibaratkan korupsi seperti penyakit kanker yang terus menggerogoti tubuh. Oleh karenanya, korupsi harus diberantas agar tidak membawa masa depan suram bagi Indonesia.
“Rakyat Indonesia berhak untuk melihat masa depan lebih baik. Koruptor ini membuat masa depan bangsa suram. Kita harus mencerahkan masa depan bangsa ini. Tidak ada toleransi bagi koruptor. Zero tolerance bagi koruptor,” ujar Artijo.
Kendati sering memutuskan hukuman maksimal bagi para koruptor, alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengaku tidak bisa memaksakan kehendak kepada hakim lain untuk sependapat denganya sebab hakim memiliki kebebasan yang dilindungi dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun.
Namanya terangkat saat memperberat vonis 4 tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh untuk kasus korupsi, serta vonis 10 bulan kepada dokter Ayu untuk kasus malpraktek.
Berikut sejumlah kasus yang pernah ditangani Artidjo sebelum ia melipatgandakan vonis Anas Urbaningrum dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara.
1. Terdakwa Kweh Elchoon (warga Malaysia). Kasus: memiliki ekstasi dan sabu ratusan ribu gram. Putusan: 20 tahun penjara (PN Tangerang), 12 tahun penjara (PT Banten), Vonis Mati (MA, 19/4/2013).
2. Terdakwa Tommy Hindratno (pegawai Ditjen Pajak). Kasus: suap Rp280 juta terkait restitusi pajak milik PT Bhakti Investama Tbk. Putusan: 3,5 tahun penjara (Pengadilan Tinggi), 10 tahun (MA, 30/9/2013).
3. Terdakwa Zen Umar (Direktur Utama PT Terang Kita). Kasus: Korupsi dana Askrindo. Putusan: 5 tahun penhara (Pengadilan Tinggi), 15 tahun (MA, 26/9/2013).
4. Terdakwa Ananta Lianggara alias Alung. Kasus: kurir peredaran psikotropika. Putusan: 1 tahun penjara (PN Surabaya dan PT Jawa Timur), 20 tahun penjara (MA, 21/10/2013).
5. Terdakwa Angelina Sondakh (mantan anggota DPR dari Partai Demokrat). Kasus: Korupsi wisma Atlet Sea Games Palembang dan Kemendikbud. Putusan: 4 tahun, 6 bulan (Pengadilan Tipikor Jakarta), 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp12,58 miliar dan USD2,35 juta (MA, 20/11/2013).
6. Terdakwa Zulkarnain Djabbar (Pejabat Kemenag). Kasus: Korupsi pengadaan Alquran. Putusan: MA menguatkan putusan pengadilan Tipikor Jakarta yakni 15 tahun penjara, denda Rp300 juta, uang pengganti Rp5,7 miliar.
7. Terdakwa Rahudman Harahap (Wali Kota Medan Non-aktif). Kasus korupsi dana tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa di Kabupaten Tapanuli Selatan tahun anggaran 2005 senilai Rp2,07 milir. Putusan: vonis bebas (pengadilan Tipikor Medan), 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp480.495.500 (MA, 26/3/2014).
8. Terdakwa Djoko Susilo (Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri). Kasus: Korupsi proyek simulator ujian SIM roda dua dan roda empat serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan: MA (4/6/2014) menguatkan vonis PT Jakarta, yaitu 18 tahun penjara, denda Rp1 miliar, uang pengganti Rp32 miliar, dan pencabutan hak politik.
9. Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS). Kasus: suap impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang. Putusan: 16 tahun penjara (Pengadilan Tipikor Jakarta), 18 tahun penjara dan Pencabutan Hak Politik (MA, 15/9/2014).
10. Terdakwa Aiptu Labora Sitorus (anggota Polisi Sorong, Papua). Kasus: Pemilik rekening gendut Rp1,5 triliun. Putusan: 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta (Pengadilan Tipikor Sorong pada 17 Februari 2014), 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider satu tahun kurungan (MA, 18/9/2014).
2. MS Lumme
Pensiunan hakim ini masuk ke MA melalui jalur nonkarier dan kini menjadi hakim ad hoc yang ditugaskan di MA khusus menangani perkara-perkara korupsi. Lumme mengatakan bahwa dirinya sudah sering menangani perkara kasus korupsi dengan Artidjo Alkostar sejak 2005 yaitu kasus Gubernur Aceh Abdullah Puteh, yang divonis 10 tahun.
Sejak saat itu, Lumme selalu berada dalam satu majelis dengan Artidjo. Dimana ada Artidjo, di sana ada Lumme. Ia pun tak ingat lagi berapa jumlah perkara yang mereka tangani bersama. Meski begitu, Lumme mengaku tak pernah berbeda pendapat ketika menangani kasus korupsi bersama-sama dengan Artidjo.
MS Lumme merupakan hakim yang tegas, tanpa kompromi dan penuh integritas. Ia puluhan tahun menjadi hakim di Pengadilan Negeri (PN) dari ujung nusantara ke ujung Indonesia lainnya dan kariernya tertingginya adalah hakim tinggi. Pada tahun 2000, MS Lumme dijagokan menjadi hakim agung tetapi terganjal aturan. Syaratnya saat itu hakim agung minimal 10 tahun bertugas di Pengadilan Tinggi (PT), tetapi MS Lumme baru 7 tahun.
Lalu, undang-undang itu diubah sehingga persyaratan menjadi 20 tahun masa kerja, dan tiga tahun di antaranya sebagai hakim tinggi namun Lumme yang keburu pensiun sebagai hakim PT.
Saat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada awal tahun 2000, Lumme menolak uang Rp 50 miliar yang diperuntukan untuk majelis yang sedang menangani kasus cessie Bank Bali senilai Rp1 triliun. Saat itu menjadi Wakil Ketua PT DKI Jakarta.
Namun kasus cessie Bank Bali itu berujung ke MA, Lumme segera mencari tahu siapa hakimnya. Hingga, ia kemudian tahu bahwa Artidjo lah salah seorang hakim anggota.
Kala itu, lanjut Lumme, Artidjo kalah suara dari anggota majelis lainnya. Ia berpendapat bahwa terdakwa dihukum 20 tahun, sedangkan mayoritas anggota majelis membebaskan terdakwa. “Artidjo akhirnya mengambil sikap dissenting opinion (DO). Itu DO pertama di MA,” tuturnya.
Lumme melanjutkan, ketua majelis hakim perkara itu segera melapor ke Ketua MA Bagir Manan terkait sikap Artidjo yang mengeluarkan DO. Bagir pun memanggil dan bertanya kepada Artidjo mengajukan DO, padahal putusan MA tak mengenal DO. “Artidjo justru balik bertanya apa ini intervensi (terhadap independensi hakim,-red). Bagir mengatakan itu bukan intervensi, hanya bertanya,” pungkasnya.
3. Prof Dr Krisna Harahap
Guru besar Sekolah Tinggi Hukum Bandung dan hakim ad hoc di MA ini juga kerap satu majelis dengan Artidjo. Salah satu vonis yang mereka ramu bersama adalah hukuman terhadap mantan Ketua Makamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dengan memerintahkan Akil dipenjara sampai mati.
Siapakah Krisna? Ia memulai kariernya sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebagai Pemred Koran Mandala, koran terbesar di Jawa Barat di tahun 80 hingga 90-an. Hidup di zaman Orde Baru, Krisna tidak asing dengan penjara karena melawan rezim otoriter Soeharto.
Dalam suasana gemuruh reformasi, pria kelahiran Sibolga, 11 Nopember 1941 itu lalu berbaur dengan para aktivis dan ikut memoles amandemen UUD 1945. Ia duduk menjadi anggota Komisi Konstitusi MPR.
Diskusi
Belum ada komentar.