//
Anda membaca...
Hukum dan Peristiwa

Kisah Perjuangan Wahyudin, Pemulung “Ganteng” yang Kini Kuliah S2 di ITB

Wahyudin, pemulung yang kini menembuh pendidikan MBA ITB di kampus Jakarta

Wahyudin, pemulung yang kini menembuh pendidikan MBA ITB di kampus Jakarta. (Foto: Detikcom)

Wahyudin seorang pemulung menjadi bahan pembicaraan di sosial media. Bukan karena tampangnya yang dianggap ganteng oleh kaum hawa saja, tetapi kerja keras dan kemauannya, pria kelahiran Bekasi, 12 Desember 1991 ini telah menjadi Sarjana S1 Akutansi, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Pasar Rebo, Jakarta Timur pada 2013.

Kini, ia tengah menyelesaikan pasca sarjana Program Magister of Bussiness Administration (MBA) di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di daerah Kuningan, Jakarta. Wahyudin sudah menjadi pemulung sejak kelas 4 SD didorong kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Saat itu dia sudah merasa tak akan sanggup melanjutkan sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi. Namun, sepuluh tahun kemudian, pekerjaannya menjadi pemulung telah membawanya hampir menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sarjana.

Bapaknya, Mija (55), punya dua istri. Dari istri pertama, Mija memiliki 5 anak. Wahyudin adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang lahir dari Fatmawati (38), istri kedua Mija. Mija bekerja serabutan, dari menggarap lahan milik orang, sampai kini menjadi tukang ojek. Jangankan memikirkan biaya sekolah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kelimpungan.

Pemuda berusia 24 tahun itu tak lagi memulung dan dia tengah menyelesaikan tesisnya di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di daerah Kuningan, Jakarta. Wahyudin kuliah S2 dibiayai oleh negara melalui beasiswa Kemendikbud.

“Sekarang saya kuliah S2 di ITB, pasca sarjana saya ambil MBA program, gelarnya nambah sekarang SE goes to MBA hehehe. Insya Allah habis lebaran ini sudah mau nyusun tesis,” kata Wahyudin seperti dilansir detikcom, Jumat (19/6/2015).

Saat lulus S1 dari kampus Uhamka pada 2013 akhir, Wahyudin memang banyak mendapat perhatian publik karena kisah hidupnya memulung untuk membiayai sekolah dari SD hingga kuliah. “Saya memang sebelum lulus udah dapet beasiswa S2 duluan karena waktu itu diwawancara detik.com bulan Maret, belum lulus. Cerita saya dimuat di media dan alhamdulillah saya dapet respons yang positif dari teman-teman di luar sana,” kenang Wahyudin.

Kala itu pihak Kemendikbud datang ke rumah Wahyudin untuk memberikan beasiswa S2. Wahyudin boleh memilih S2 keluar negeri di negara manapun, namun dia memilih untuk kuliah di dalam negeri.

“Saya memang ingin sekali kuliah di luar negeri, tapi saya bertanya lagi di hati saya yang paling dalam, saya tuh belum umroh, saya tuh punya cita-cita negara pertama yang harus saya datangi adalah Arab Saudi saya pengen ke Mekah,” ucapnya.

Setelah berkonsultasi dengan pihak Kemendikbud akhirnya Wahyudin memutuskan kuliah di pasca sarjana ITB. Namun lagi-lagi Wahyudin selalu memiliki kisah menarik dalam setiap perjuangannya mencapai cita-cita. Misalnya saja cerita dia ketika menghadapi ujian agar bisa diterima di ITB.

Wahyudin harus mengikuti tes matematika, Bahasa Inggris, TOEFL dan wawancara yang semuanya dalam Bahasa Inggris. “Perjuangannya itu dahsyat banget, TOEFL-nya harus 475 kalau nggak salah. Saya belum pernah tes karena orang tua sederhana nggak pernah kursus Bahasa Inggris sama sekali tiba-tiba mau S2 pelajarannya full english,” ujar Wahyudin.

Akhirnya Wahyudin belajar Bahasa Inggris di manapun secara berulang-ulang. Wahyudin ‘berguru’ dengan temannya Rizki Yusuf agar bisa lulus tes TOEFL. Perjuangan dia pun berhasil, namun dia masih harus melalui tes wawancara dalam Bahasa Inggris.

Awalnya dia hanya belajar tulisan saja, sementara di perkuliahan dia butuh untuk lancar berkomunikasi. Kursus English Conversation? Mahal!

Akhirnya ketika sedang ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur dia melihat ada orang asing sedang berjalan-jalan dan dipandu seorang tour guide perempuan. Dia tinggalkan dulu karung memulung dan dagangan lainnya untuk ‘merayu’ sang tour guide agar bisa menggantikan.

“Saya bilang sama Mbak tour guide-nya kalau saya mau kuliah, saya pemulung, saya enggak punya uang buat kursus jadi saya mau jadi tour guide biar praktik langsung buat tes wawancara. Sambil becek-becek nyeker (tak beralas kaki, -red) saya keliling-keliling dan jelaskan tentang Jatinegara,” kenang Wahyu.

“Bagaimana, Mister? Bahasa Inggris saya jelas enggak?” tanya dia waktu itu dan dijawab, “Oh iya, jelas,” dalam bahasa Inggris pula.

Rasa percaya diri sedikit meningkat saat itu, tetapi Wahyu masih belum puas. Sedikit berdandan rapi, Wahyu pun memberanikan diri untuk menginjakkan kaki ke Pondok Indah Mall dan ke arena ice skating di Mall Taman Anggrek. Sekedar untuk bertemu bule.

Akhirnya dengan modal berbincamg dengan 3 orang asing, Wahyu lolos tes. Sukseslah dia menyandang status sebagai mahasiswa magister ITB. Sejak kecil dia mengumpulkan uang untuk sekolah, dan kini dia sudah merengkuh magister. Semua itu berawal dari semangat dan karung yang selalu dipikul saat memulung.

“Ketika S2 ini pun prosesnya hampir sama, saya menyamar, saya sembunyikan identitas pemulung saya. Saya pakai baju bagus dibeliin kakak angkat saya, kak Muhammad Habsyi. Pas semester 2 baru mereka tahu saya pemulung dan mereka semua pada kaget,” tutur Wahyu.

“Saya terbiasa dari kecil itu walau pun saya miskin, saya gembel, saya enggak mau orang-orang itu ngerendahin saya. Saya selalu menyembunyikan identitas saya, kalau saya sedih saya simpan sendiri kalau bahagia saya share ke orang-orang,” ungkap dia melanjutkan.

Berceritalah dia bagaimana dahulu selalu menyembunyikan kartu tagihan SPP hingga S1 dari orang tua kandungnya. Disembunyikannya kartu itu di bawah bantal agar ibunya tak tahu bahwa biaya kuliah per semester adalah Rp 5.250.000.

“Kalau kartu bayaran itu engga boleh kasih tahu orang tua, harus taruh di bawah bantal sendiri, bayaran saya harus pusing sendiri, nangis sendiri, laporan ke guru BP izin setiap semester itu sudah biasa waktu kuliah di Uhamka. Tapi kalau saya dapat ranking, juara, terpilih jadi pemuda pelopor kota Bekasi itu saya share saya kasih tau Emak. ‘Saya ranking loh, saya dapat juara ini loh Mak’,” kata pemuda tersebut.

Ya, buah dari niat membahagiakan orang tua itu pun amat manis dikecapnya. Kini Wahyu hampir menyelesaikan jenjang magister di ITB. Masih ingat dia ketika dahulu harus memulung mulai pukul 01.00 WIB sampai waktu subuh. Usai mandi dan berpakaian seragam, dia berjualan gorengam dan dititipkan di pos satpam. Sepulang sekolah setelah istirahat sebentar dia kembali memulung hingga pukul 22.00 atau 23.00 WIB. Tak jarang Wahyu tidur hanya 2-3 jam di tumpukan karung hasil memulung.

“Setiap ke sekolah saya bawa balsam atau minyak kayu putih. Saya oleskan dekat mata supaya panas dan tidak mengantuk. Saya tidak mau ketinggalan pelajaran hanya karena tertidur. Saksinya adalah teman-teman SMA dan kebiasaan itu terus sampai saya kuliah S1,” tutur Wahyu.

Di akhir 2013 bisa dibilang karier sebagai pemulung hampir berakhir. Dia mendapat modal dari seorang WNI di Australia sebesar Rp 4 juta yang kemudian dipakai untuk merintis usaha ternak entok (sejenis itik, -red). “Setelah S2 saya mau ambil S3 gelar PhD ke luar negeri,” ucap Wahyu sambil menyunggingkan senyumnya.

Diskusi

Satu respons untuk “Kisah Perjuangan Wahyudin, Pemulung “Ganteng” yang Kini Kuliah S2 di ITB

  1. Reblogged this on kakafocus and commented:
    Artikel yang bermanfaat

    Posted by kakafocus | Juni 22, 2015, 9:07 am

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Gravatar
Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: