Berdasarkan berkas dakwaan yang dikutip dari website Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon, Selasa (7/7/2015), kasus bermula saat Ramli menerima telepon dari Adi.
“Ada pekerjaan bertemu A Tek di Malaysia,” kata Adi saat menelepon Ramli pada 30 Januari 2015.
“Iya, Di,” jawab Ramli.
Keesokan harinya, Ramli meminta pendapat istrinya, Nani Andriani, tentang pekerjaan haram itu.
“Besok kita ke Malaysia untuk bisnis sabu dengan bos China,” kata Adi.
“Iya,” jawab Nani mengiyakan bisnis kejahatan luar biasa itu.
Maka mereka berdua lalu mencari tiket pesawat Bandara Kualanamu-Penang, Malaysia. Setelah tiket didapat, pasangan suami istri ini lalu terbang ke Penang pada 1 Februari 2015 sore. Setibanya di Bandara Penang, mereka lalu menginap di Hotel Culia, Penang.
Mereka di Hotel Culia menunggu dikontak oleh A Tek. Pada hari kedua, Ramli mengajak istrinya menemui A Tek di pom bensin di Kota Jeti Penang. Di pom bensin itu, mereka bertiga lalu berunding.
“Kapan barang sampai?” tanya Ramli.
“Dalam beberapa hari,” jawab A Tek.
Setelah itu, mereka membubarkan diri. Pada 5 Februari 2015 lewat tengah malam, Ramli mengajak Nina menemui adiknya, Jamil dan anak mereka Muzakir. Mereka berempat bertemu di sebuah warung makan di Penang.
“Mil, saya sudah bertemu bos China. Ada 14 kg sabu,” cerita Ramli.
“Iya Bang, kapan datang sabu?” tanya Jamil.
“Tanggal 10,” jawab Ramli.
Setelah pertemuan ini, mereka membubarkan diri.
Sesuai kesepakatan, Ramli-Nina-A Tek lalu kembali bertemu di pom bensin di lokasi yang sama sebelumnya pukul 11.00 WIB. A Tek lalu menyerahkan satu buah tas berisi narkotika. Transaksi selesai. Narkoba bernilai puluhan miliar itu berpindah tangan dari A Tek ke Ramli-Nina. A Tek lalu pergi dan menghilang.
Bagaimana kelanjutan cerita keluarga berbisnis narkoba yang belakangan dituntut hukuman mati ini?
Diskusi
Belum ada komentar.