Elesta Apriliana Wulansari (22 tahun) merupakan satu dari dua pilot wanita yang bekerja untuk maskapai Trigana Air. Ia sudah duduk di kokpit pesawat sejak berusia 17 tahun, saat masih jadi siswi sekolah penerbangan di Nusa Flying International dan kini sudah memiliki lebih dari 2.500 jam terbang.
Apa kata pilot cantik ini soal pesawat Trigana Air Service ATR 42 PK YRN dengan nomor penerbangan IL 267 hilang kontak pada Minggu pukul 14.55 WIT kemarin dan disebut menabrak Gunung Tangok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua?
Dilansir dari Liputan6.com, Elesta mengatakan, rute dan lokasi hilangnya pesawat tersebut dikelilingi oleh perbukitan. “Tantangan terberat di Papua pasti medannya. Daerah terpencil itu minim alat navigasi, nggak ada Air Traffic Control (ATC). Hanya dari radio pesawat ke radio pesawat,” cerita dia.
ATC berfungsi untuk pengaturan lalu lintas di udara terutama pesawat untuk mencegah antarpesawat terlalu dekat satu sama lain, mencegah tabrakan antarpesawat dan pesawat dengan rintangan yang ada di sekitarnya selama beroperasi.
Ketiadaan ATC itulah yang membuat pihak bandara tidak dapat memandu pesawat ketika melintasi area tersebut. Dari pengalamannya, Elesta mengaku pihak bandara Oksibil hanya mengetahui posisi pesawat melalui radio.
“Karena enggak ada ATC, jadi enggak ada pantauan pesawat di sekitar situ apa aja dan jumlahnya berapa, dan posisinya di mana. Jadi kita hanya saling info dengan pesawat lewat radio,” ungkap gadis kelahiran 10 April 1993 ini.
Bahkan Elesta dan rekan-rekan pilotnya baru dapat berkomunikasi dengan pihak bandara ketika sudah berjarak 13 mil. Jarak tersebut merupakan jarak yang dapat terjangkau oleh radio bandara.
Pilot pun ditantang untuk mengatur manajemen pesawat. “Perubahan cuaca juga terjadi sangat cepat.” Elesta mengisahkan, tantangan jelas di Papua adalah, pilot harus menghafal area. “Gunung tingginya berapa kita harus tahu. Obstacle apa saja, kita harus tahu ada di koordinat mana letaknya,” kata dia. “Medan terberat itu di Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua Barat.”
Bahkan Elesta pernah berpapasan dengan pesawat lain di udara. “Sebenarnya terbang di sana syaratnya harus kondisi visual baik. Namun perubahan cuaca sangat cepat. Pas di Jayapura terima laporan cuaca bagus, tapi sampai sana sudah sangat berawan,” kata dia.
“Dan kebetulan ada pesawat lain juga. Mau landing di Oksibil. Kita harus tahu posisi pesawat di mana, dan ada satu miss sama pilot pesawat tadi.” Untung, insiden yang tak diinginkan bisa dielakkan.
Bagi dia, Oksibil dikenal sebagai salah satu landasan yang cukup tinggi. Bahkan ketinggiannya mencapai ribuan kaki di atas permukaan laut.
“Runway-nya pun ada di ketinggian 4 ribu kaki dari permukaan laut. Oksibil-Jayapura itu bisa ditempuh 45 atau 47 menitan. Bisa main di ketinggian 13.500 meter atau 15.500 kaki saat berangkat, dan saat baliknya itu 14.500 kaki,” kata Elesta yang kini berpacaran dengan seorang anggota TNI AU bernama Airlangga Chandra.
Medan yang berat tersebut sudah diantisipasi para pilot dengan menguasai rute dan teknik terbang tertentu.
Dan menurut Elesta, itu sudah diatur oleh maskapai Trigana Air. “Trigana sudah punya chart untuk terbang ke dan dari sana. Sudah ada panduannya harus kecepatan berapa pada ketinggian berapa, ada aturannya kalau mau masuk ke sana,” pungkas Elesta.
Diskusi
Belum ada komentar.