Anggota DPRD asal Maluku Nono Sampono mengatakan masyarakat di daerahnya berharap pemerintah membangun kilang gas cair (LNG) di Blok Masela yang terletak di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dilakukan di daratan atau on shore.
“Masyarakat Maluku berharap on shore karena multiplier efek jauh lebih besar di darat dengan berbagai pertimbangan keamanan, pengawasan, ekonomi dan sosial,” kata Nono usai mengikuti diskusi ‘Gaduh Blok Masela’ di Jakarta Pusat, Sabtu, 2 Januari 2016.
Nono mengungkapkan keputusan itu berdasarkan hasil musyawarah nasional masyarakat Maluku di Ambon, pada akhir November 2015. Selain itu, ia juga melihat bahwa ini kesempatan bagi daerahnya untuk berkembang, karena masuk dalam kategori wilayah termiskin ketiga di Indonesia.
“Jangan ada pertimbangan lain, termasuk profit. Landasan utama pengelolaan sumber daya alam ini adalah konstitusi,” katanya.
Nono menyampaikan agar pemerintah tidak terpukau pada angka keuntungan perbandingan on shore dan LNG terapung (floating LNG). Meski biaya investasi yang dikeluarkan untuk pembangunan kilang di daratan lebih besar, akan sepadan karena kepentingan daerah juga besar. “Kita harus mengeluarkan modal lebih, kenapa tidak untuk dapat hasil lebih? Jangan terpukau sama angka-angka.”
Pertimbangan lainnya adalah landas kontinen Blok Masela yang berbatasan dengan Australia, dan bisa diklaim suatu saat nanti. “Tapi kalau terkoneksi ke darat, itu milik kita,” kata Nono.
Sementara itu, anggota Kelompok Ahli Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Sugita mngatakan pengembangan kilang gas cair (LNG) Blok Masela harus dilakukan di darat. Hal ini agar bermanfaat bagi hilirisasi industri dan pembangunan wilayah yang dapat dinikmati masyarakat.
“Kami minta para pemangku kepentingan agar pengembangan Masela diikuti dengan industri hilir dan itu dilakukan di darat. Dimanapun tempatnya semua baik untuk kepentingan pembangunan wilayah maluku,” kata Sugita dalam diskusi ‘Gaduh Blok Masela’, di Jakarta Pusat, pada Sabtu, 2 Januari 2016.
Menurut Sugita, selain gas alam, di Blok Masela yang terletak di Laut Arafuru, Maluku juga terkandung kondensat sebesar 24 ribu barel per hari. Kondensat inilah yang dapat dikembangkan untuk pembangunan industri hilir.
“Peluang produksi pupuk urea, bisa bangun tiga pabrik. Kondensat juga bisa untuk membangun pabrik petrokimia atau senyawa aromatik,” katanya.
Sugita yang merupakan pendiri Berdikari Center mengungkapkan, untuk membangun pabrik hanya mungkin dilakukan di daratan. Selain kecilnya peluang pengembangan, ia juga menilai bahwa pembangunan prasarana di laut memiliki banyak kerawanan. “Pengamanan terhadap prasarana off shore (FLNG) jauh lebih sulit, dibandingkan jika berada di darat.”
Diskusi
Belum ada komentar.