Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan bahwa Kejaksaan Agung tak memerlukan izin dari Presiden Joko Widodo untuk memeriksa politikus Golkar, Setya Novanto. Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu disangka Kejaksaan melakukan pemufakatan jahat dalam upaya memuluskan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. “Karena ini pidana khusus,” kata Saldi saat dihubungi pada Rabu 6 Januari 2016.
Saldi menuturkan jika Kejaksaan Agung merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Setya Novanto diduga menjurus ke tindak pidana korupsi. Sehingga, unsur dalam Pasal 245 ayat 3 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) telah terpenuhi. “Tindak pidana korupsi, ya enggak boleh ada izin,” ujarnya.
Dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang MD3 yang telah direvisi Mahkamah Konstitusi, izin pemeriksaan seorang anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ada di tangan presiden. Namun, ketentuan itu tak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan, diancam pidana mati, dan melakukan tindak pidana khusus seperti yang diatur di ayat 3 pasal tersebut. Korupsi termasuk tindak pidana khusus.
Setya Novanto dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan oleh Menteri ESDM Sudirman Said atas dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden saat bertemu dengan pengusaha Riza Chalid dan bos Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Pada saat bersamaan, Kejaksaan membidik Setya dengan tuduhan pemufakatan jahat untuk korupsi dalam perpanjangan kontrak atau divestasi saham Freeport.
Setya berulang kali membantah tuduhan Sudirman Said maupun Kejaksaan Agung.
Diskusi
Belum ada komentar.