Sebagian mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat menyatakan tidak mau pulang ke kampung halaman dengan alasan takut dikucilkan atau tidak lagi memiliki rumah dan harta di kampung. Karena itu, pemerintah memberikan alternatif dengan menawari mereka program transmigrasi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan upaya pemulangan anggota Gafatar merupakan bentuk perlindungan negara terhadap eks Gafatar. Tidak ada jaminan bagi anggota organisasi masyarakat itu bertahan di Kalimantan Barat karena sudah tidak diterima warga setempat.
“Siapa yang jamin kalau nanti ada aksi anarkistis?” kata Tjahjo Kumolo setelah menggelar pertemuan dengan pejabat Riau di Gedung Daerah, Pekanbaru, Jumat, 23 Januari 2016, dilansir Tempo.co.
Menurut Tjahjo, kepolisian dan TNI pun tidak mungkin menjaga mereka 24 jam. “Mau sampai kapan?”
Menurut Tjahjo, pemulangan eks Gafatar merupakan perintah Presiden Joko Widodo untuk memberikan perlindungan bagi mereka. Pemerintah tidak ingin kecolongan seperti kasus Ahmadiyah atau konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura. “Kita tidak ingin kecolongan,” ujarnya.
Satu-satunya jalan, kata Tjahjo, bagi eks Gafatar yang tidak mau pulang, pemerintah akan membahasnya melalui program transmigrasi. “Program transmigrasi salah satu alternatif,” tuturnya.
Tjahjo memahami kekhawatiran para mantan anggota Gafatar. Namun dia yakin pembinaan dari Majelis Ulama Indonesia dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat. “Masyarakat kita itu pemaaf. Gafatar belum tentu salah,” ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah eks Gafatar menyatakan enggan dievakuasi ke kampung halaman mereka karena khawatir tidak dapat diterima masyarakat. “Sudah seperti yang kami katakan, kami tidak mungkin pulang. Buat apa? Di tempat asal juga kami tidak diterima. Kami dikucilkan,” kata Maryadi, 47 tahun, warga eks Gafatar asal Tangerang.
Harto, 42 tahun, asal Malang, mengatakan lebih baik pemerintah memikirkan untuk merelokasi mereka ke daerah baru daripada kembali ke daerah asal. “Buat apa? Lebih baik kami ke luar negeri saja kalau begitu,” ujarnya.
Puji, 48 tahun, warga eks Gafatar lainnya, berpendapat, jika ada sebuah pulau kosong, mereka bersedia bercocok tanam di daerah tersebut asalkan tidak kembali ke daerah asal.
Diskusi
Belum ada komentar.