PN Jaksel menolak gugatan praperadilan yang diajukan eks Dirut Pelindo II, RJ Lino. Hakim tunggal Udjiati menyatakan penetapan tersangka RJ Lino oleh KPK adalah sah menurut hukum.
“Permohonan pemohon tidak diterima untuk seluruhnya,” kata hakim Udjiati membacakan putusan di PN Jaksel, Jl Ampera, Jakarta Selatan, Selasa (26/1/2016).
Hakim pun menyatakan bahwa semua proses hukum yang dijalankan KPK kepada RJ Lino sah. Tidak ada alasan untuk menggugurkan status tersangka RJ Lino. “Eksepsi pemohon tidak dapat diterima dan menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima untuk seluruhnya,” tegas hakim Udjiati.
Dalam pertimbangan hukumnya, Udjiati mengesampingkan keterangan ahli dari pihak pemohon maupun termohon. Pasalnya, hal itu sudah masuk pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan.
“Bukti penetapan tersangka, hakim akan mengesampingkann karena sudah masuk pokok perkara. Hakim tidak mempertimbangkan keterangan ahli dan mengesampingkannya karena sudah masuk pokok perkara,” jelas Udjiati.
KPK akan segera melakukan pemeriksaan terhadap RJ Lino sebagai tersangka dan akan dilakukan penahanan. “Minggu ini akan kita ekspose untuk melakukan pemeriksaan kepada tersangka RJL,” kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di PN Jaksel, Jl Ampera, Jaksel, Selasa (26/1/2016).
Menurut Basaria, jadwal pemanggilan terhadap RJ Lino akan segera ditentukan setelah ekspose. Sementara untuk penahanan usai pemeriksaan, Basaria menyerahkan semuanya ke tim penyidik. “Kalau penahanan saya serahkan kepada para penyidik. Itu kewenangan mereka,” jelas Basaria.
Dilansir Detikcom, RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan 3 QCC pada tahun 2010. Lino dianggap menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi.
QCC adalah derek yang dipasang di bibir pelabuhan untuk bongkar-muat kontainer dari kapal. Sedangkan jenis twin lift maksudnya adalah derek yang bisa mengangkat dua kontainer sekaligus.
Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan kegiatan investasi dan biaya pada Pelindo sejak 2010 sampai 2014 menyebutkan banyak kejanggalan atas pengadaan QCC twin lift itu. Mulai proses pengadaan hingga ketidaksesuaian derek itu dengan jenis pelabuhan tujuan.
Pengadaan QCC dimulai pada 2007, yakni saat Pelabuhan Palembang mengajukan permintaan container crane bekas. Namun pengadaan melalui lelang itu gagal. Kegagalan terulang setahun berikutnya ketika Pelabuhan Panjang meminta alat yang sama untuk membantu aktivitas pelabuhan tersebut.
Kegagalan beruntun itu direspons Direktur Operasi dan Teknik Ferialdy Noerlan dengan mengembangkan permintaan alat menjadi QCC single lift baru untuk tiga pelabuhan, ditambah Pontianak. Estimasi anggarannya, untuk Pelabuhan Panjang US$ 5,7 juta dan Rp 88 juta dengan kontrak perawatan selama 6 tahun sebesar Rp 9,79 miliar.
Lalu, Pelabuhan Palembang dan Pontianak masing-masing sebesar US$ 4,338 juta dan Rp 88 juta dengan kontrak perawatan selama 6 tahun sebesar Rp 6,711 miliar. Sehingga total anggaran pembelian QCC untuk tiga pelabuhan itu sebesar US$ 14,376 juta dan Rp 264 juta.
Namun proses pengadaan juga menemui jalan berliku. Lelang pertama gagal. Pelindo sempat menunjuk langsung PT Barata. Namun proses ini lagi-lagi tidak terwujud karena tidak terjadi kesepakatan dalam estimasi harga dengan penawaran. Lalu Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino pun tampil.
Lino mendisposisi penunjukan langsung dilakukan terhadap tiga perusahaan, yakni Zhenhua Heavy Industry Co Ltd (ZPMC), Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM), dan Doosan Heavy Industries and Construction Co Ltd.
Tawaran HDHM dinilai paling menarik karena, selain mengajukan QCC single lift, menawarkan twin lift dengan daya angkat 50 ton. Tawaran QCC twin lift inilah yang menjadi bahan negosiasi berikutnya. Pelindo minta perusahaan asal Tiongkok itu meningkatkan daya angkat menjadi 60 ton dan disanggupi oleh HDHM.
Namun BPK menyatakan Pelabuhan Pontianak dan Palembang sebetulnya tak memerlukan derek dengan daya angkat terlalu besar, karena keduanya merupakan pelabuhan sungai. Apalagi sungai hanya dapat dilintasi kapal berukuran sedang, karena kedalaman alur di Pelabuhan Palembang hanya -3,2 mean low water spring (pasang tertinggi 3 meter) dan di Pelabuhan Pontianak -3,8 mean low water spring (pasang tertinggi 1,8 meter Kapal yang berlabuh di kedua pelabuhan itu bertipe flat bottom (dasar kapal datar). Kondisi operasional lapangan pun belum tertata rapi sehingga tak memungkinkan pengoptimalan derek dengan jenis twin lift. Apalagi listrik yang tersedia di kedua pelabuhan belum mumpuni untuk menghidupkan QCC twin lift.
Kejanggalan lainnya adalah nilai teknis mesin yang masih menggunakan standar Tiongkok (Guobiao/GB). Sedangkan nilai teknis yang diinginkan adalah standar Eropa (Federation Europeenne De La Manutention/FEM).
Beberapa peraturan di Pelindo juga sengaja diubah, seperti soal pengadaan dengan alasan agar tidak kaku dan penggunaan standar alat dari Eropa ke Tiongkok.
Sebagai bukti penunjukan langsung itu, penyelidik menemukan nota tulisan tangan Lino yang mengarahkan agar pengadaan langsung dilakukan oleh HDHM. Nota tersebut tertanggal 12 Maret 2010 dan 25 Maret 2010. Nota terakhir berisi perintah agar Pelindo menyesuaikan pengadaan dengan penawaran HDHM.
Anehnya, pihak Pelindo tidak pernah mengajukan data spesifikasi yang diinginkan selama berkomunikasi dengan HDHM. Spesifikasi alat yang dibutuhkan hanya melongok pada lembar penawaran dan spesifikasi yang diajukan HDHM.
Kondisi alat pun serbakurang. Spreader, alat untuk memperlebar pengangkut sehingga mampu menampung dua peti kemas, buatan HDHM ternyata menggunakan produksi ZPMC. Bahan kerangka bangunan masih menggunakan standar untuk single lift, sehingga baja yang digunakan kualitasnya lebih rendah.
Di samping itu, spreader di Pelabuhan Panjang pernah rusak total sehingga harus diganti dengan biaya dari Pelindo sendiri. Ketika proses pengadaan berlangsung, HDHM terdata belum memiliki sertifikasi QCC untuk bobot maksimal lebih dari 40 ton. Pengadaan di Pelindo untuk tiga unit QCC twin lift ini merupakan ekspor pertama mereka keluar dari Tiongkok.
Commissioning test yang digelar ketika alat itu didatangkan hanya mengangkat kontainer kosong. Alhasil, ketika penyelidik KPK melakukan pengujian, Pelindo tak berani mengangkat beban lebih dari 40 ton. Bahkan beban 40 ton ini hanya diangkat dengan kecepatan yang tak sesuai dengan spesifikasi alat.
Lino memiliki rekam jejak karier di Tiongkok. Ia pernah bekerja sebagai Project Director AKR Nanning, Tiongkok, pada 2005. Kariernya moncer setelah berhasil menjalin kerja sama dengan pemerintah lokal untuk mengakuisisi sebuah pelabuhan dan menyelesaikan persetujuan jual-beli.
Saat itu ia duduk sebagai Managing Director Pelabuhan Guigang, Guangxi, Tiongkok. Prestasi itulah yang membuatnya pada 2009 diusulkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil untuk menduduki kursi Direktur Utama Pelindo II.
KPK akhirnya baru bisa menjerat Lino sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Lino dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP. KPK mengendus adanya kerugian negara sekitar Rp 60 miliar.
Diskusi
Belum ada komentar.