Avian Influenza Research Center Universitas Airlangga (AIRC-Unair) Surabaya siap menghasilkan vaksin Zika jika diperlukan pemerintah karena hampir semua negara yang bisa membuat vaksin pasti menawarkan vaksin tersebut.
Ketua AIRC Unair, Chairul Anwar Nidom menyatakan pihaknya membutuhkan waktu enam bulan untuk melakukan penelitian yang menghasilkan vaksin Zika. “Kami hanya membutuhkan waktu selama enam bulan untuk bisa menghasilkan vaksin Zika,” kata Chairul, Minggu (7/2), seperti dikutip Antara.
Chairul menuturkan bahwa untuk bisa menghasilkan vaksin Zika pihaknya perlu bekerja sama dengan industri vaksin nasional, seperti PT Bio Farma Bandung, yang selama ini telah bekerja sama dengan AIRC-Unair
Menurut ahli vaksin Unair ini pembuatan vaksin Zika lebih mudah dibandingkan dengan vaksin Demam Berdarah Dengue (DBD) yang sampai saat ini belum pernah dihasilkan karena struktur virus DBD yang rumit. “Seperti halnya perkembangbiakan nyamuk di satu daerah dengan daerah lainnya itu berbeda,” ujarnya, seperti diberitakan CNN Indonesia.
Chairul mengakui bahwa untuk vaksin DBD sampai saat ini memang sulit. Namun untuk vaksin Zika, AIRC Unair siap memproduksinya karena telah membuat beragam vaksin terkait penyakit tropis yang pernah menjadi wabah di Indonesia seperti vaksin flu burung, vaksin MERS, dan vaksin flu haji dan umroh (SARS).
“Pada bulan Mei mendatang, AIRC juga siap bekerja sama untuk menghasilkan vaksin polio dan vaksin virus Rota yang selama ini masih belum diproduksi,” tutur dia.
Chairul menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir terhadap isu penyakit Zika karena virus ini bisa diantisipasi dengan menjaga daya tahan tubuh atau imun manusia yaitu mengonsumsi rempah-rempah berkualitas dalam makanan atau minuman.
“Jangan mengonsumsi makanan junk food, fast food maupun penyetan, karena tidak mengandung gizi,” ujarnya.
Sementara itu, Intitute Of Tropical Disease (ITD) Unair juga telah mampu mendeteksi virus Zika dengan menggunakan Real Time Polymerase Chain Reactilon (RTPCR), meskipun beberapa laboratorium riset lainnya juga telah memiliki alat “screening” virus ini.
Kepala ITD Unair Maria Inge Lusida mengatakan beberapa laboratorium riset memang sudah memiliki alat RTPCR, namun tidak semua laboratorium riset mempunyai tenaga ahli untuk melakukan analisa menggunakan alat ini. “Karena teknik analisa tidak hanya didukung dengan kelengkapan alat, tetapi pengembangan dari analisa identifikasi virus,” kata Maria.
Menurut dia, alat ini bisa mendeteksi beragam virus dengan menggunakan serum untuk mengenali virusnya, namun dalam pengenalan virus ini dibutuhkan tenaga ahli yang bisa mendeteksi beragam virus.
Maria menyatakan, prinsip dasar alat ini yaitu memperbanyak gen dalam virus yang bereaksi dengan serum tertentu. Misalnya dengan serum A diketahui virus tertentu akan bereaksi, maka saat dilakukan screening akan terlihat jumlah virus ini lebih banyak. “Alat ini bekerja secara kuantitatif pada komputer setelah sampel dimasukkan dalam alat,” kata dia.
Maria menambahkan bahwa untuk memastikan virus Zika dibutuhkan waktu hingga satu minggu dari hasil deteksi virus DBD, terlihat virus jenis lain yang belum dikenali. “Analisa kecurigaan ini bisa sampai dua hari, kemudian dilakukan pemastian dengan berbagai pengujian hingga lima hari,” tuturnya.
Diskusi
Belum ada komentar.