Harga daging ayam di pasaran saat ini berkisar Rp 30.000- Rp 35.000 namun untuk live bird (ayam hidup) di tingkat peternak hanya Rp 13.000- Rp 14.000 per ekor. Akibatnya, kini peternak rakyat terancam bangkrut karena harga tersebut di bawah harga pokok produksi (HPP), Rp 19.000.
“Kalau harga baiknya kita bisa untung live bird Rp 20.000 ke atas. Tapi sekarang harga jauh di bawah HPP, banyak yang sudah tutup. Dan ini harga benar-benar dikendalikan peternakan besar terintegrasi yang kuasai 80% pasar ayam,” jelas Sekretaris Presidium Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI), Aswin Pulungan, Sabtu (20/2/2016), dilansir DetikFinance.
Dia mengungkapkan, di awal 2016, sudah ribuan peternak, terbesar di Jawa Barat yang sudah berhenti beternak sementara untuk menunggu harga ayam membaik.
“Data persisnya tak punya, yang pasti sudah ribuan yang kecil-kecil sudah pada stop dulu. Tapi kalau berhentinya terus-terusan lama-lama bangkrut juga,” ujar Aswin.
Penyebab jatuhnya harga ayam, lanjutnya, terjadi karena produksi day old chicken (DOC) terlalu banyak. Kondisi tersebut berbuntut pada melimpahnya pasokan ayam dari peternakan besar.
“Coba cek peternakan besar milik mereka, misalkan saja yang di Sukabumi. Ada ratusan kandang, satu kandang isinya 40.000 ekor. Bayangkan sekali panen 40.000 ekor keluar, mereka punya berapa kandang. Karena kandang besar dan banyak, maka mereka produksi DOC juga banyak. Itulah yang membuat harga di peternak kecil jatuh,” ungkap Aswin.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad Syarkawi Rauf mendesak, Menteri Perdagangan segera mendesak penetapan batas harga ayam seperti halnya pada harga beras.
“Oleh karena itu KPPU mengharapkan agar Kementerian Perdagangan dapat segera mengambil langkah konkret salah satunya dengan mengimplementasikan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015, tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting,” ujar Syarkawi.
Saat ini, sambungnya, KPPU sendiri akan segera menyidangkan 12 perusahaan peternakan besar yang diduga melakukan persekongkolan usaha.
“Kita terus lanjutkan sidangnya, disamping berharap Menteri Perdagangan segera menetapkan batas harga untuk menyelamatkan peternak sementara,” tutupnya.
Direktur Nawa Cita Watch, Arifin, mengapresiasi upaya KPPU dalam menyelematkan industri perunggasan. Menurutnya, bisnis di dunia perunggasan merupakan bisnis para mafia kelas tinggi atau preman yang selama ini telah merusak dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Arifin membeberkan, mengacu pada hasil penyelidikan KPPU, nilai bisnis perunggasan dari hulu ke hilir sekitar Rp450 triliun per tahun. “Nilai bisnis perunggasan ini melebihi nilai bisnis migas di Indonesia,” ungkap Arifin.
Dia menjelaskan, nilai bisnis sebesar Rp450 triliun tersebut sebesar 60-80 persen atau Rp270 triliun hingga Rp360 triliun dikuasai oleh dua perusahaan raksasa yaitu Charoen Pokphand dan Japfa.
“Sedangkan 20 persen atau Rp90 triliun hanya dikuasai oleh 16 perusahaan unggas, di antaranya Malindo, Wonokoyo, Missouri, dan Borneo,” ungkap Arifin.
Dia pun meminta pemerintah, dalam hal ini Kemendag tidak boleh melakukan pembiaran apalagi menjalin hubungan mesra dengan para mafia unggas.
“Ini mengingat nilai luhur atau tujuan nawa cita yang menjadi landasan pementahan Jokowi-Jk tidak boleh diciderai atau digadaikan. Rakyat, peternak dan pelaku usaha lokal harus kita lindungi,” pungkas Arifin.
Diskusi
Belum ada komentar.