//
Anda membaca...
Hukum dan Peristiwa

Pemilu 1955 Juga Diwarnai Demo Penista Agama, Hoax Hingga Persekusi

Suasana masa kampanye pada Pemilu 1955

Suasana masa kampanye pada Pemilu 1955. (Istimewa)

Anekainfounik.net. Pemilihan Umum 1955 sering dikatakan sebagai pemilu paling demokratis di Tanah Air. Walaupun demikian, persaingan dalam pemilu pertama dalam sejarah Indonesia tersebut berlangsung sengit. Seperti pelaksaan Pilkada DKI Jakarta 2017, partai politik melakukan segala cara untuk menyerang saingan mulai memunculkan isu penistaan agama, penolakan pemakaman jenazah, hoax orang gila, persekusi hingga mengaitkan pilihan politik dengan surga atau neraka.

Seperti diketahui, ada empat partai besar di panggung politik utama pada saat itu, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peneliti asal Australia yang dipekerjakan Pemerintah RI, Herbert Feith, menggambarkan suasana persaingan Pemilu 1955 di buku “The Indonesian Elections of 1955”. Ada sejumlah peristiwa yang terjadi, antara lain demonstrasi menentang penistaan agama, penolakan pemakaman komunis, hingga intimidasi yang dilakukan aparat.

Mulainya kampanye ditandai dengan pengesahan Undang-Undang tentang Pemilu pada 4 April 1953. Lambang-lambang partai disahkan dan diumumkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) pada 31 Mei 1953. Kampanye ini seolah memaksa parpol-parpol membuat jejaring sampai tingkat desa.

Masyumi beradu dengan PNI soal aspirasi penerapan syariat Islam di Indonesia. Ada momentum yang menyulut ketegangan. Presiden Sukarno, di Amuntai Kalimantan Selatan pada Januari 1953, memperingatkan usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam akan menyulut perpecahan dari daerah-daerah yang penduduknya bukan Islam.

Kalangan Islamis bereaksi keras menanggapi Sukarno. Anggota DPR dari Masyumi, Kiai Hadji Isa Anshary, dalam kampanyenya selalu mengutuk pemimpin partai politik non-Muslim sebagai munafik dan kafir. PNI menilai Isa Anshary sebagai ekstremis karena selalu menentang simbol-simbol nasionalisme.

Penistaan Agama Menyulut Demo Besar

Pemilu 1955: Demo Penista Agama, Tolak Pemakaman, dan IntimidasiPoster-poster Pemilu 1955 (Department of Information of the Republic of Indonesia via Wikimedia Commons)

Dituliskan oleh Feith di bukunya yang lain, yakni “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia”, ada kasus penistaan agama yang dilakukan pihak Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia) yakni Mei Kartawinata. Dia menyatakan Muhammad adalah nabi palsu. Ada pula Mr Hardi dari PNI yang mengatakan Alquran sudah ketinggalan zaman.

Organisasi Islam yang didominasi Masyumi kemudian menggerakkan demonstrasi Februari 1954 mengecam Permai dan PNI. Ini adalah demo lanjutan dari isu sebelumnya, yakni digantinya Wali Kota Jakarta Raya yang dari Masyumi, Sjamsuridjal, dengan orang PNI yakni Sudiro. Penggantian ini juga mengubah komposisi representasi Masyumi di Komite Pemilihan setahun sebelum Pemilu. Demo ini juga didorong oleh ketidaktegasan pemerintah dalam merespons isu penistaan agama saat itu.

Setengah juta orang turun ke jalan. Unjuk rasa berujung rusuh. Satu orang kapten TNI yang berusaha menjaga keamanan menjadi korban tewas kerusuhan. Ini adalah korban jiwa pertama di suasana Pemilu.

Dilarang Makamkan Jasad Komunis

PKI menghubung-hubungkan Masyumi dengan pemberontak Darul Islam dan punya niat mendatangkan pihak asing pada sektor perkebunan dan tambang.

Masyumi juga menuding PKI sebagai partai yang tunduk pada Moskow. Masyumi juga selalu mengingatkan publik soal peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Partai ini berusaha menjadikan hari Pemberontakan Madiun sebagai Hari Berkabung Nasional.

Masyumi juga menyatakan komunis sama saja dengan atheis, maka komunis adalah kafir. Jasadnya harus ditolak bila hendak dimakamkan di pemakaman muslim.

Intimidasi Aparat

Adapun PNI berkampanye pula dengan menyatakan pihaknya sebagai ‘Partainya Pak Karno’. PNI saat berkampanye di Jawa menyebut Masyumi sebagai partainya orang Sumatra. Namun Masyumi juga menyatakan bila berkampanye di Sumatra bahwa PNI itu partainya orang Jawa saja.

PNI dikatakan Feith menggunakan pengaruh aparat pemerintahan sampai tingkat desa. Penyalahgunaan kekuasaan ini bahkan juga berbentuk intimidasi ke warga desa. PNI di pedesaan Jawa mengancam lurah-lurah dengan hukuman penjara dan denda uang bila mereka tidak mendukung PNI. PNI juga mengancam akan menahan distribusi sembako.

Yang menjadi kejutan menurut Faith, adalah NU. Disebutnya, NU adalah partai dengan modal kampanye paling cekak namun bisa sukses menempati peringkat ke-3, di bawah PNI, Masyumi, dan di atas PKI. “…Mungkin ini kejutan terbesar di Pemilu,” tulis Feith.

Anomali kemenangan NU menunjukkan satu hal, yakni modal sosial juga tak kalah penting ketimbang modal finansial.

Tak Pilih Partai Bisa Masuk Neraka

Masyumi dan NU sama-sama berkampanye bahwa hanya yang memilih partainyalah yang bisa masuk surga. Kalau tidak pilih partai ini maka bisa masuk neraka. Tentu saja ini hanya satu contoh yang menarik di mata Feith.

Ada garis pemisah yang nampak di antara pemilih PNI dan PKI. Menurut amatan Feith di desa-desa, pemilih PNI saat itu adalah priyayi dan juragan. Pemilih PKI biasanya para penyewa lahan garapan dan orangmiskin.

Di Minangkabau, ada perbedaan pemilih Masyumi dan Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah). Perti dipersepsikannya sebagai NU-nya orang Sumatra. Biasanya, pemilih Perti adalah kaum tua tradisionalis. Kaum muda Muslim cenderung terafiliasi dengan Masyumi.

Hoax Beracun hingga Orang Gila Ngamuk

Feith juga menceritakan Pemilu 1955 juga diwarnai hoax yang bikin resah warga di desa-desa, juga membuat gelisah penduduk di pulau-pulau.

Kabar bohong pertama, ada kapal selam yang segera merapat menyerang Indonesia. Kabar bohong kedua, orang-orang kulit putih yang sembunyi di gunung-gunung bakal menyambangi kota dan menyerang dengan bantuan pasukan hantu. Bayang kengerian perang masih lekat di benak orang-orang Indonesia era itu. Kabar-kabar seperti itu sungguh tak mengenakkan masyarakat.

Hoax selanjutnya, orang-orang di Jawa dilaporkan banyak yang keracunan pada beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudah Pemilu DPR. Herbert Faith yang berada di Indonesia saat itu menilai sebenarnya ini cuma gangguan psiko-sosial saja.

Namun rakyat Indonesia kebanyakan bukanlah seperti Herbert Feith si cendekiawan Australia. Saat itu banyak orang Indonesia masih buta huruf. Kabar orang yang keracunan makanan itu benar-benar bikin takut. Ini menjadi keresahan masyarakat.

Terjadi persekusi terhadap penjual makanan. Persekusi model begini bukan hanya di satu tempat, tapi di banyak tempat. Bahkan isu makanan beracun sampai menjadi pembicaraan di kabinet.

Selama empat hari, Institut Bakteriologi Eijkman di Rumah Sakit Pusat Jakarta menerima 600 sampel makanan yang diduga beracun. Setelah diperiksa, ternyata tak ada racun dalam sampel-sampel makanan itu.

Tak jelas siapa yang mengembuskan hoax ini. Ancaman hukuman diserukan kepada partai-partai yang mencoba menghasut masyarakat memakai isu ini.

Namun keresahan kadung menjalar. Toko-toko tutup dan barang dagangan ditimbun. Bukan hanya toko, bahkan di beberapa tempat pasar kota dan desa juga tutup lebih awal pada siang, sehari sebelum Pemilu. Di pelosok-pelosok, dilaporkan bahwa warga banyak yang menggadaikan hartanya. Kota-kota menjadi terasa sunyi, persis seperti setelah digempur serangan udara saat perang.

Toko-toko tutup dan menimbun barang dagangan. Bukan hanya toko, bahkan di beberapa tempat pasar di kota dan di desa juga tutup lebih awal pada siang, yakni sehari sebelum Pemilu. Di pelosok-pelosok, dilaporkan bahwa warga banyak yang menggadaikan hartanya. Kota-kota menjadi terasa sunyi, persis seperti setelah digempur serangan udara saat perang.

Pemerintah lewat siaran radio mengimbau masyarakat tetap tenang. Tentara-tentara berseliweran di jalanan beberapa hari jelang Pemilu DPR. Pemandangan ini justru menambah ngeri warga. Jam-jam malam diberlakukan pada dua atau tiga hari menjelang hari pencoblosan. Simpelnya, suasana jelang Pemilu DPR: tegang.

Hari pencoblosan tiba. Pria, wanita, tua, muda, ibu-ibu hamil, orang sakit, bahkan anak-anak juga diajak keluarganya ke TPS. Para perantau pulang kampung sekadar untuk mencoblos. Feith menyaksikan rata-rata mereka datang ke TPS memakai baju yang bagus.

Ketegangan sirna? Saat hari pencoblosan 29 September, orang-orang di TPS cenderung bicara dengan bisik-bisik. TPS terasa sunyi namun tidak alamiah. Namun kekhawatiran soal terjadinya malapetaka perlahan sirna.

Namun ada pula peristiwa yang bikin kaget saat itu. Dilaporkan media massa, ada tiga kejadian pembunuhan oleh orang gila.

“Tiga kasus dilaporkan di media massa, yakni warga-warga desa yang menderita keterbelakangan mental mengamuk pada saat hari pemungutan suara. Salah seorang dari mereka membunuh tiga orang warga desa,” tulis Feith di halaman 50.

Selanjutnya, Pemilu Konstituante pada 15 Desember 1955 berlangsung relatif lebih rileks. Kampanye untuk Pemilu Konstituante juga tak semeriah kampanye sebelum Pemilu DPR.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Gravatar
Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: